Bisnis.com, JAKARTA — Disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja dinilai dapat mendorong pergeseran status tenaga kerja, di antaranya bertambahnya jumlah pekerja kontrak dan outsource. Hal tersebut dinilai akan memengaruhi struktur kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS, baik Kesehatan maupun Ketenagakerjaan.
Praktisi jaminan sosial dan Anggota Tim Perumus Rancangan Undang-Undang (UU) Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Odang Muchtar menilai bahwa UU Cipta Kerja memberikan ruang bagi mempekerjakan karyawan kontrak dan outsource. Hal itu pun menjadi sorotan sejumlah pihak karena dinilai memberikan ketidakpastian kerja.
Odang menilai bahwa penambahan jumlah karyawan kontrak dan outsource dapat memengaruhi struktur kepesertaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sejumlah faktor penyebabnya di antaranya kemauan pemberi kerja dalam memberikan jaminan sosial dan perpindahan segmen peserta.
Menurutnya, saat ini masih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan pekerja kontrak dan outsource sebagai peserta BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Jika jumlah pekerja itu semakin banyak, dikhawatirkan para pekerja tidak terlindungi oleh jaminan sosial.
Oleh karena itu, diperlukan komitmen yang kuat dari para pemberi kerja, termasuk pemberi kerja utama dalam hal outsource, untuk mendaftarkan pekerjanya ke BPJS. Hal itu dinilai perlu diatur dalam aturan turunan UU Cipta Kerja.
"Aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja jangan mengecualikan itu [pekerja kontrak dan outsource wajib mendapatkan jaminan sosial]. Padahal kalau pekerja punya majikan, bahkan di warung tegal [warteg] sekalipun, secara hukum dia berhak untuk mendapatkan jaminan sosial dari pemberi kerjanya," ujar Odang kepada Bisnis, Rabu (7/10/2020).
Baca Juga
Dia menjelaskan bahwa saat ini masih terdapat risiko perpindahan pekerja ke tempat kerja lain yang cukup intens, baik karena statusnya kontrak maupun terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal tersebut dapat berimbas kepada kepesertaan jaminan sosial, jika tidak dicegah dengan pendataan yang baik menggunakan teknologi.
Odang menggambarkan bahwa saat ini terdapat 37,44 juta peserta BPJS Kesehatan dari segmen Pekerja Penerima Upah (PPU). Dia mencontohkan dengan asumsi satu kepala keluarga memiliki satu orang istri dan satu orang anak yang turut menjadi tanggungan, maka satu per tiga dari jumlah peserta PPU itu merupakan kepala keluarga.
Jika kepala keluarga itu terkena PHK atau diputus kontraknya, terdapat risiko satu keluarga itu berhenti kepesertaannya dari BPJS Kesehatan atau mereka berpindah menjadi peserta mandiri jika mampu. Namun, dalam skenario terburuk, pemerintah harus mampu menjaga mereka.
Menurut Odang, hal tersebut rentan terjadi di masa pandemi Covid-19 saat kondisi perekonomian tertekan. Oleh karena itu, pemerintah harus siap menampung para pekerja kontrak dan outsource yang rentan untuk masuk ke segmen peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).
"Maka kekuatan fiskal harus kuat, karena kalau [pekerja kontrak dan outsource] itu masuk ke PBI, akan ditanggung oleh anggaran pendapatan dan belanja negara [APBN]," ujarnya.
Odang menilai bahwa pemerintah dapat mengantisipasi hal tersebut dengan kebijakan yang lebih fleksibel, misalnya dengan membebaskan pekerja terkena PHK dari iuran selama belum mendapatkan pekerjaan. Karena jika tidak, perolehan iuran BPJS Kesehatan dapat menurun dan beban fiskal makin berat.
Dia menilai bahwa pada era industri 4.0 terdapat pergeseran tren status tenaga kerja secara global, yakni terus bertambahnya pekerja kontrak dan outsource dalam sejumlah sektor pekerjaan. Hal tersebut menurutnya banyak terjadi di negara-negara maju.
Dia mencontohkan bahwa Australia mencatatkan sekitar 30 persen karyawan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dari seluruh tenaga kerjanya, kondisi serupa turut terjadi di Amerika Serikat. Hal itu pun dinilai sebagai keniscayaan bagi negara-negara lain, terlebih saat kondisi perekonomian tertekan akibat pandemi virus corona.
"Ada UU Cipta Kerja atau tidak, digitalisasi mengakibatkan tren pergeseran pekerja formal ke informal, bisa PKWT atau outsource. Sekarang bagaimana caranya pekerja yang terpaksa ada dalam kondisi itu harus tetap memiliki jaminan sosial, aktif sebagai peserta BPJS Kesehatan," ujar Odang.