Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Cadangan Devisa September Susut Dipengaruhi Isu Independensi BI, Kok Bisa Sih?

Legislator yang melontarkan gagasan untuk merevisi UU BI. Hal ini pun menimbulkan tekanan pada nilai tukar rupiah. Alhasil, cadangan devisa susut karena dipengaruhi isu independensi BI tersebut.
Kantor Bank Indonesia/Ilustrasi-Bisnis
Kantor Bank Indonesia/Ilustrasi-Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Ketidakpastian indenpendsi Bank Indonesia dalam Rancangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia (BI) dinilai ikut memengaruhi penyusutan cadangan devisa pada September 2020.

BI mencatat posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2020 adalah sebesar US$135,2 miliar, turun dari posisi Agustus 2020 yang sempat mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, yang mencapai US$137,0 miliar.

Penurunan cadangan devisa ini disebutkan dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.

Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan penurunan cadangan devisa tersebut merupakan yang pertama kalinya terjadi sejak Maret 2020.

Neraca perdagangan dalam beberapa bulan terakhir mengalami surplus sehingga menyumbang peningkatan likuiditas valas di dalam negeri, dan membuat cadangan devisa BI terakselerasi.

Menurut Satria, cadangan devisa pada periode September 2020 berada di bawah tekanan arus keluar modal asing di pasar obligasi yang mencapai US$590 juta dan pasar ekuitas yang mencapai US$1,05 miliar.

Padahal, permintaan dan penawaran valas relatif sehat, intervensi pasar spot juga sangat substansial selama dua minggu terakhir bulan September.

Justru pada periode yang bersamaan, legislator kembali lagi melontarkan gagasan untuk merevisi UU BI. Hal ini pun menimbulkan tekanan pada nilai tukar rupiah.

"Di tengah kondisi greenback yang bearish, nilai tukar rupiah melemah 1,2 persen dari 21 September hingga diperdagangkan pada 14.880 pada akhir bulan. Bahkan kinerja rupiah menjadi yang terburuk di Asia," katanya, Kamis (8/10/2020).

Satria menjelaskan, secara historis, rupiah sangat sensitif terhadap arus asing di pasar obligasi.

Oleh karena itu, menurutnya pelemahan permintaan di lelang pasar primer juga harus disoroti. Dalam lelang obligasi pemerintah yang terbaru pada 6 Oktober, penawaran yang masuk hanya mencapai Rp49,5 triliun.

Jumlah tersebut lebih rendah dari rata-rata Rp69,1 triliun pada kuartal III/2020 dan masih jauh jika dibandingkan dengan periode Agustus, yang pada tanggal 11 pernah mencapai lebih dari Rp106 triliun.

Bahkan, di sela-sela adanya sentimen positif atas pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja di sisi domestik dan peningkatan kesehatan Presiden AS Donald Trump dari sisi eksternal, investor pendapatan tetap justru memutuskan untuk tidak bergerak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper