Bisnis.com, JAKARTA -- Kinerja ekonomi mulai menggeliat pada akhir tahun ini. Pelaku industri perbankan pun memastikan kondisi likuiditas dalam posisi yang kuat untuk dapat terus memfasilitasi kebutuhan indsutri riil.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid/DPK per 18 November 2020 terpantau pada level 157,57 persen dan 33,77 persen, di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Adapun, loan to deposits ratio bank umum pun terus terpantau longgar yakni berada pada 83,16 persen per September 2020, turun 195 basis poin dari bulan sebelumnya 85,11 persen.
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Darmawan Junaidi memastikan likuiditas sangat kuat pada akhir tahun ini termasuk untuk menjawab kebutuhkan kredit indsutri riil.
Kendati demikian, ekspansi kredit tidak dilakukan secara sembrono guna menghindari risiko gagal bayar.
"Untuk BMRI, kualitas portofolio terjadi penurunan meski NPL tidak terlalu buruk. Rasio NPL masih di 3,5 persen, kolektabilitas kami masih terjaga memang tidak sebaik industri. Memang itu lebih karena wholesale yang risiko kreditnya cukup tinggi," katanya, Rabu (2/12/2020).
Untuk optimalisasi kredit tahun depan, Darmawan menyampaikan perseroan masih melihat kinerja debitur yang stagnan. Perseroan berharap distibusi yang lebih cepat sehingga kinerja pada semester kedua tahun depan dapat lebih agresif.
Dia pun menuturkan perseroan akan fokus pada peningkatan kinerja ekonomi dari semua segmen debitur, dan berupaya mendorongnya naik kelas dengan menguatkan integrasi semua rantai pasok.
"Kami memiliki 12 region yang itu kami ingin nasabah bisa upgrade, naik dari SME naik ke komersial, dari komersial bisa jadi korporasi. Ini membutuhkan fokus dan totalitas," sebutnya.
Senada, Direktur Utama PT Bank BRI (Persero) Tbk. Sunarso tak mempermasalahkan penggunaan dana dari nasabah individu dan pelaku usaha tersebut. Perseroan juga akan terus berupaya untuk meningkat optimlasisasi likuiditas saat ini.
Dia menyampaikan perseroan saat ini mendorong pelaku UMKM pasar untuk dapat memanfaatkan peningkatan belanja digital masyarakat dengan penciptaan website pasar. Di samping itu, perseroan juga terus mengoptimalkan sektor pangan untuk dapat terus meningkatkan kredit.
"Sektor pangan justru memiliki multiplier efek yang jauh lebih tinggi. Kami perlu mengoptimalkan semua sektor terkait seperti logistik dan perdagangannya. Justru kalau bisa memasok kebutuhan dalam negeri secara penuh, dan ini akan memberi pertumbuhan kinerja yang lebih berkelanjutan," katanya.
Petugas beraktivitas di pabrik pembuatan baja Kawasan Industri Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (4/10/2019)./ANTARA FOTO-Fakhri Hermansyah
Dihubungi terpisah, Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro menyampaikan risiko likuiditas perbankan pada masa pandemi tahun ini dapat dibilang minim.
"Memang awalnya ada kekhawatiran restrukturisasi dan kecemasan masyarakat menggerus likuiditas. Namun, kondisi yang terjadi justru over liquid, dan upaya untuk optimalisasinya sangat diperlukan. Justru tren penurunan dana masyarakat dan peningkatan kredit sangat dibutuhkan saat ini," sebutnya.
Dia menyampaikan langkah yang diambil oleh Bank Indonesia dalam penjaminan likuiditas sangat membantu perbankan. Selain itu, pemerintah juga memberi suntikan dana ke beberapa bank yang likuiditas semakin longgar.
Ari pun menyapaikan kekuatan daya beli masyarakat masih banyak tersimpan di perbankan dalam bentuk tabungan dan deposito.
"Justru yang perlu dicarikan cara adalah memperkuat kepercayaan konsumsi masyarakat agar semua bisa belanja lagi secara normal," sebutnya.
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wiroatmodjo pun memastikan likuiditas tidak menjadi isu bagi perbankan.
Dia mengatakan kondisi likuiditas saat ini justru dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi dari beban dana.
"Bahkan seharusnya ini juga dapat ditransmisikan ke suku bunga kredit sehingga suku bunga kredit Indonesia bisa tetap dapat bertahan di bawah 10 persen," katanya.