Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa hari lalu, tepatnya pada Rabu (16/12/2020, pimpinan pusat Muhammadiyah mengkaji penarikan dana yang ditempatkan di Bank Syariah Indonesia, bank hasil merger tiga bank yakni PT Bank BRISyariah Tbk. (BRIS), PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BNI Syariah.
Rencana penarikan dana itu sempat menjadi kabar yang menggegerkan. Pasalnya, sejumlah pihak menilai ada unsur politis di balik alasan penarikan dana tersebut. Dana dalam bentuk giro dan deposito yang semula ditempatkan di tiga bank syariah milik negara akan dipindahkan ke bank syariah yang dinilai memiliki komitmen bersama Muhammadiyah untuk memajukan ekonomi umat dan segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Saat itu, Ketua Bidang Ekonomi PP Muhammadiyah Anwar Abbas mengatakan pihaknya akan segera membentuk tim khusus yang beranggotakan pakar keuangan, bankir, dan mantan bankir, serta regulator untuk mengkaji penarikan dana tersebut.
Selasa (22/12/2020), PP Muhammadiyah kembali menggelar jumpa pers secara virtual untuk menyampaikan beberapa poin terkait perkembangan mega merger anak usaha syariah bank BUMN.
Bahkan, Ketua Umum PP Muhammadiyah kantor Yogyakarta Haedar Nashir sampai turun tangan menyampaikan tuntutan resmi. Dia menyoroti soal transparansi dan akuntabilitas terkait dengan perkembangan mega merger anak usaha syariah bank BUMN.
"Dalam waktu dekat, Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan menerbitkan petunjuk teknis yang terkait dengan dana amal usaha dan Persyarikatan yang disimpan di tiga bank syariah pemerintah dan penempatan dana setelah BSI mulai beroperasi," katanya dalam konferensi pers PP Muhammadiyah, Selasa (22/12/2020).
Haedar menyampaikan bahwa salah satu masalah bangsa Indonesia adalah masalah kesenjangan sosial-ekonomi di mana mayoritas rakyat belum memperoleh taraf hidup yang sejahtera secara merata.
"Sementara sekelompok kecil masyarakat menikmati kemakmuran yang sebesar-besarnya. Dengan kata lain sistem ekonomi Indonesia belum mampu mewujudkan keadilan sosial yang merata dan terciptanya kemakmuran bagi sebesar-besarnya hajat hidup rakyat sebagaimana cita-cita dari sila kelima Pancasila dan pasal 33 UUD 1945," ujarnya.
Secara lebih lengkap, ada sekitar enam poin yang disampaikan Muhammadiyah. Pertama, Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai bank syariah maupun lembaga perbankan milik negara pada umumnya hendaknya benar-benar menjadi perbankan Indonesia yang dikelola secara good governance, profesional, dan terpercaya untuk sebesar-besarnya hajat hidup dan peningkatan taraf hidup rakyat.
Pengelolaan dan manajemen BSI harus benar-benar dikontrol dengan seksama, transparan, dan akuntabel sehingga sejalan dengan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku serta tidak ada pihak manapun yang menyalahgunakan dan memanfaatkan perbankan Indonesia untuk kepentingan yang bertentangan dengan asas, fungsi, dan tujuannya.
Kedua, BSI dan perbankan Indonesia pada umumnya harus memiliki kebijakan khusus yang bersifat imperatif yang lebih besar/maksimal (minimal 60% untuk pembiayaan UMKM) untuk akselerasi pemberdayaan, penguatan, dan pemihakan yang tersistem kepada UMKM dan kepentingan mayoritas rakyat/masyarakat kecil.
Kinerja dan keberhasilan BSI hendaknya tidak dinilai dari laba, tetapi sejauh mana membantu menciptakan lapangan kerja dan tujuan sosial meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Kebijakan tersebut dapat mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi sekaligus terwujudnya pasal 33 UUD 1945 dan sila kelima Pancasila. Bila kesenjangan sosial-ekonomi dibiarkan akan merusak kebersamaan dan persatuan Indonesia.
BSI dan perbankan pada umumnya tidak menjadi lembaga yang memberi kemudahan dan dimanfaatkan oleh kelompok yang memiliki akses kuat secara ekonomi, politik, dan sosial manapun.
Ketiga, BSI sesuai wataknya sebagai bank syariah sangat tepat apabila mendeklarasikan diri sebagai bank yang fokus kepada UMKM untuk percepatan perwujudan keadilan sosial-ekonomi secara lebih progresif di negeri ini. BSI yang berlabelkan syariah secara khusus penting menaruh perhatian, pemihakan, dan kebijakan imperatif pada program penguatan dan pemberdayaan ekonomi umat Islam yang sampai saat ini masih lemah secara ekonomi.
Kebijakan khusus tersebut sebagai perwujudan dari keadilan distributif dalam bingkai aktualisasi persatuan Indonesia. Bila umat Islam kuat maka bangsa Indonesia pun akan menjadi kuat dan maju.
Keempat, Muhammadiyah dengan seluruh amal usaha (AUM) dan jaringan organisasinya yang luas didukung pengalaman manajemen profesional dan sumber daya manusia dengan spirit Al-Qur’an, terutama surah al-Ma‘un, siap secara konsep dan langkah nyata untuk mengembangkan program UMKM dan ekonomi kerakyatan.
Hal itu sejalan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan New Economic Policy yang berbasis pada Kebijakan Ekonomi Berkeadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Kelima, Muhammadiyah mengajak kepada seluruh komponen bangsa khususnya yang memiliki kekuatan dan akses ekonomi-politik yang kuat untuk berbagi dan bersatu langkah dalam penguatan UMKM dan pemberdayaan ekonomi rakyat kecil demi terwujudnya keadilan sosial di Indonesia.
Dengan semangat Persatuan Indonesia kami percaya Indonesia akan menjadi negara dan bangsa yang maju dalam kebersamaan, yaitu Indonesia untuk semua sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Keenam, kepada pimpinan amal usaha Muhammadiyah dan pimpinan Persyarikatan di semua tingkat hendaknya mengikuti kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam waktu dekat, Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan menerbitkan petunjuk teknis yang terkait dengan dana amal usaha dan Persyarikatan yang disimpan di tiga bank syariah pemerintah dan penempatan dana setelah BSI mulai beroperasi.
"Pandangan terkait BSI tidak ada kaitan dengan signifikansi dana pihak manapun yang disimpan di Bank Syariah tersebut, tetapi menyangkut tuntutan akuntabilitas publik terhadap BSI sebagai badan usaha milik negara yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagaimana perintah Undang-undang," katanya.