Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) diperkirakan menahan suku bunga acuan melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI bulan ini. Gubernur BI Perry Warjiyo dan anggota Dewan Gubernur akan melaksanakan RDG bulan ini pada 17-18 Maret 2021.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan BI 7 Days Repo Rate (BI7DRR) masih akan bertahan pada 3,5 persen pada Maret 2021, sama seperti bulan lalu. Menurutnya, BI diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuannya untuk mengantisipasi arah suku bunga Federal Reserve Bank (Fed), yang selanjutnya akan mendorong daya tarik aset keuangan Rupiah sehingga mendorong stabilitas nilai tukar rupiah.
“Suku bunga acuan di level 3,5 persen diperkirakan masih konsisten untuk menjangkar ekspektasi inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” kata Josua kepada Bisnis, Rabu (17/3/2021).
Keputusan RDG BI bulan ini akan sangat dipengaruhi oleh hasil keputusan Fed dalam Federal Open Market Committe (FOMC) Maret 2021 yang akan digelar nanti malam. Terutama terkait assesment terhadap perekonomian Amerika Serikat (AS) dan arah suku bunga Fed dalam jangka menengah.
“Oleh sebab itu, dengan upaya mendorong terciptanya stabilitas rupiah serta masih berlanjutnya transmisi kebijakan moneter dan makroprudensial BI, yang direspons juga oleh tren penurunan suku bunga perbankan, diharapkan akan tetap mendukung pemulihan ekonomi domestik dalam jangka pendek ini,” jelasnya.
Josua menyebut penahanan level suku bunga acuan mempertimbangkan rupiah yang volatil berdasarkan peningkatan rata-rata one-month implied volatility menjadi 8,1 persen sepanjang Maret 2021, dari kisaran 7,8 persen di Februari 2021. Volatilitas pergerakan kurs rupiah dapat mendorong pelemahan rupiah sebesar 2,3 persen secara rata-rata pada Maret 2021 dibandingkan bulan sebelumnya.
Pelemahan rupiah dipengaruhi oleh tren kenaikan imbal hasil/yield US Treasury (UST) 10 tahun yang saat ini berada di level 1,62 persen atau meningkat 22 bps dibandingkan dengan akhir Februari 2021 dan meningkat 71 bps dibandingkan dengan akhir 2020.
Peningkatan yield UST tersebut didorong oleh ekspektasi kenaikan inflasi Amerika Serikat (AS) dalam jangka pendek. Hal tersebut sejalan dengan prospek pemulihan ekonomi AS yang terus membaik sesuai tren.
Tren kenaikan yield UST telah mendorong kenaikan yield obligasi global. Salah satunya termasuk mendorong kenaikan yield surat utang negara (SUN) 10 tahun yang saat ini meningkat 16 bps ke level 6,77 persen dibandingkan dengan Februari 2021, atau meningkat 88bps dibandingkan dengan akhir tahun 2020.
Kenaikan yield SUN tersebut juga disertai dengan penurunan kepemilikan asing terhadap surat berharga negara (SBN) sebesar US$1,24 miliar pada Maret ini.