Bisnis.com, JAKARTA - Sebagai industri teknologi finansial (tekfin/fintech) pendatang baru, industri fintech urun dana atau equity crowdfunding (ECF) kerap dibanding-bandingkan dengan industri fintech peer-to-peer (P2P) lending yang sudah 'lebih senior'.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Layanan Urun Dana (ALUDI) sekaligus CEO PT Investasi Digital Nusantara (Bizhare) Heinrich Vincent mengakui bahwa hal ini merupakan keniscayaan, menilik kedua industri juga membidik segmen yang sama, yaitu UMKM.
Fintech P2P lending yang diresmikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 2016, dan fintech ECF yang diresmikan sejak 2018 pun sama-sama bisa menjadi alternatif investasi masyarakat yang berniat menjadi investor ritel ke segmen tersebut.
Bedanya, investasi menjadi pendana atau lender di fintech P2P lending dibatasi hanya boleh melakukan transaksi di Rp2 miliar, sementara menjadi 'Pemodal' di fintech ECF bisa mencapai Rp10 miliar.
"Industri ECF memang masih tergolong balita, baru disahkan pada 2018. Tapi sebenarnya kondisi kita sekarang ini mirip P2P lending 2 tahun yang lalu, di mana masih baru beberapa saja yang terdaftar di OJK, sehingga justru saat ini momen pertumbuhan itu sedang sangat terasa, sejalan dengan antusiasme masyarakat dan upaya kita terus memperkenalkan industri," jelasnya kepada Bisnis, Senin (30/8/2021).
Heinrich mengungkap beberapa perbedaan karakteristik fintech ECF dengan P2P lending. Walaupun sama-sama memberikan pendanaan buat UMKM, menjadi lender fintech P2P lending hanyalah memberikan pinjaman atau kredit kepada mereka yang disebut borrower, sementara menjadi Pemodal ECF artinya ikut menjadi shareholder dari para 'Penerbit'.
"Ketika berinvestasi pada saham Penerbit yang UMKM atau startup di fintech ECF, maka kita menjadi pemegang saham bersama dengan Penerbit. Di mana apabila bisnisnya berkembang dengan baik di masa yang akan datang, kita akan ikut menikmati hasilnya dan return yang relatif lebih sustainable secara jangka panjang, baik secara dividen dan juga capital gain," ujarnya.
Terlebih, produk pendanaan di fintech P2P lending banyak jenisnya, mulai dari yang hanya 1-3 bulan, sampai yang 2 tahun. Oleh sebab itu, menjadi Pemodal lewat fintech ECF lebih menjanjikan passive income untuk membantu para investor meraih kebebasan finansial.
"Dengan ada perbedaan profil risiko dan jangka waktu investasi antara P2P Lending dan ECF, bisa dikatakan fintech P2P Lending lebih menyasar kepada investor dengan preferensi investasi jangka pendek, loan based. Sementara ECF lebih jangka panjang," ungkap Heinrich.
Namun, dengan adanya perluasan izin sebagai Securities Crowdfunding bagi para pemain ECF, produk pendanaan UMKM yang tersedia pun nantinya bertambah, mengakomodasi investasi ke obligasi atau sukuk para Penerbit yang memiliki landasan proyek dan dapat memiliki jaminan aset/kontrak.
"Ini akan menjadi gebrakan baru, di mana para Pemodal dapat merasakan investasi jangka pendek dan panjang dalam satu genggaman. Apalagi, jumlah pendanaan maksimal penerbit securities crowdfunding skalanya lebih besar yaitu Rp10 miliar per tahun. Ini tentunya menjadi solusi untuk UKM yang lebih mature, mendapatkan pendanaan ekspansi secara lebih leluasa, sekaligus memberikan opsi investasi yang semakin aman dengan return yang menarik," jelasnya.
Dengan demikian, Heinrich yakin ekosistem Securities Crowdfunding akan menjadi alternatif instrumen investasi dan pendanaan yang bertumbuh sangat pesat dalam beberapa waktu ke depan.
Heinrich mengungkap ALUDI dan para pemain industri ECF pun terus mencoba mengikuti jejak industri 'fintech senior' tersebut, di mana iklim industri makin kondusif, kepercayaan masyarakat bisa terjaga, dan animo investor ritel yang bergabung terus bertumbuh.
Sebagai informasi, berdasarkan data ALUDI per Juli 2021, total Pemodal dari lima platform fintech urun dana telah mencapai 443.694 akun. Adapun, transaksi pendanaan dari para Pemodal kepada usaha 164 Penerbit telah mencapai Rp313,56 miliar.
Ke depan, ALUDI menargetkan jumlah pemodal mencapai 500.000 akun, Penerbit UMKM atau startup yang berhasil diterbitkan bisa menyentuh 500 entitas atau proyek, sementara pendanaan yang tersalurkan mencapai Rp500 miliar.