Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Antisipasi Tapering, Ini 3 Sektor Paling Berisiko Terdampak

Di antara sekian banyak sektor, yang paling terdampak adalah sektor pelaku usaha yang mempunyai portofolio utang dalam bentuk mata uang asing seperti dolar AS, di antaranya sektor jasa keuangan, pertambangan, penggalian, hingga industri pengolahan.
Aktivitas di salah satu lokasi pertambangan PT Golden Eagle Energy Tbk/goldeneagle
Aktivitas di salah satu lokasi pertambangan PT Golden Eagle Energy Tbk/goldeneagle

Bisnis.com, JAKARTA – Bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (Fed) menyatakan bahwa akan mulai menarik stimulus, atau tapering, di tahun ini seiring dengan pemulihan ekonomi di AS, Jumat (27/8/2021).

Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan akan memulai pengurangan pembelian aset tahun ini seiring dengan pengawasan risiko terhadap Covid-19 yang terus berkembang.

Sementara untuk suku bunga acuan, akan dilakukan setelah kembalinya perekomian ke tingkat lapangan kerja maksimum dan inflasi ke 2 persen sesuai dengan target The Fed.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai hampir semua sektor ekonomi berpotensi terdampak dengan adanya rencana tapering oleh The Fed.

Di antara sekian banyak sektor, yang paling terdampak adalah sektor pelaku usaha yang mempunyai portofolio utang dalam bentuk mata uang asing seperti dolar AS.

Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI) sektor yang memiliki utang luar negeri terbesar di antaranya sektor jasa keuangan, pertambangan dan penggalian, hingga industri pengolahan.

Sementara dengan adanya rencana tapering, Yusuf memperkirakan adanya potensi rupiah mengalami koreksi pelemahan, meskipun mungkin tidak akan terlalu dalam.

“Ketiga sektor ini memegang proporsi sekitar 56 persen dari total utang luar negeri pelaku usaha swasta di Indonesia,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (31/8/2021).

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Yusuf menilai dibutuhkan dukungan baik dari sisi moneter dan non-moneter, dari BI dan pemerintah.

Dari sisi moneter, BI dinilai perlu mengantisipasi kebijakan intervensi seperti suku bunga acuan, intervensi di pasar spot, tunai hingga di pasar Surat Berharga Negara (SBN).

“Karena seperti yang kita tahu jika The Fed akan menjalankan kebijakannya tentu hal ini berpotensi akan mendorong capital outflow, jika hal tersebut terjadi maka ada peluang nilai tukar akan bergerak lebih volatile dengan kecenderungan melemah,” kata Yusuf.

Sementara dukungan kebijakan non-moneter dari pemerintah yaitu dengan menjaga neraca dagang berada pada level yang akomodatif. Dalam artian, jika neraca dagang kembali defisit, maka defisit tersebut tidak akan begitu besar dan tidak sampai berdampak pada neraca transaksi berjalan.

Neraca transaksi berjalan, tambah Yusuf, menjadi penting karena akan ikut mempengaruhi keputusan BI dalam misalnya menurunkan atau menaikkan suku bunga.

Adapun, Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan tingkat suku bunga acuan kemungkinan akan mulai dinaikkan pada akhir 2022, sebab tekanan pada inflasi diperkirakan baru akan meningkat pada 2023.

“Bukan 2021 dan kemungkinan besar bukan di 2022, karena itu BI sudah mengantisipasinya,” jelasnya.

Dia mengatakan BI juga akan terus mengantisipasi kebijakan tapering the Fed. Kebijakan menjaga stabilitas nilai tukar pun akan tetap dilakukan melalui kebijakan triple intervention.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper