Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Ketenagakerjaan diminta oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan cut loss atau take profit di sejumlah saham yang tidak ditransaksikan selama beberapa tahun, salah satunya saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA).
Terdapat enam saham yang direkomendasikan untuk dilakukan cut loss atau take profit antara lain, saham PT Salim Invomas Pratama Tbk. (SIMP), PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. (KRAS), PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA), PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI), PT PP London Sumatera Indonesia Tbk. (LSIP), PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG).
Direktur Pengembangan Investasi BPJS Ketenagakerjaan Edwin Michael Ridwan mengatakan bahwa untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK, pihaknya telah melakukan aksi terhadap lima saham tersebut, kecuali saham GIAA.
"Saham Garuda menjadi satu-satunya saham dari enam saham yang direkomendasikan oleh BPK untuk dilakukan transaksi apakah take profit maupun cut loss, yang belum kami lakukan tindakan," ujar Edwin dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (15/9/2021).
Tindakan belum dilakukan lantaran pihaknya masih memonitor perkembangan bisnis Garuda Indonesia yang saat ini dalam kondisi terpuruk karena kondisi industri penerbangan yang terpukul akibat pandemi Covid-19.
"Terus terang kondisi sekarang ini sudah terburuk. Kalau kami jual sekarang, justru nanti ketika setelah kami jual malah naik, itu jadi suatu masalah buat kami ke depan. Kami masih pantau situasi dengan lebih seksama Garuda ini," katanya.
Edwin mengungkapkan bahwa saham GIAA telah berada di dalam portofolio BPJS Ketenagakerjaan sejak 2011, ketika badan tersebut masih berbentuk perseroan terbatas, yakni sebagai PT Jamsostek (Persero). Kala itu, PT Jamsostek membeli saham Garuda saat initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI).
"Kami beli saham Garuda di IPO dan saham itu sampai sekarang masih ada," imbuh Edwin.
Adapun, rekomendasi BPK tersebut tercantum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2020 yang dipublikasikan BPK beberapa waktu lalu. BPK melakukan pemeriksaan atas pengelolaan investasi dan operasional BPJS Ketenagakerjaan dalam kurun 2018 hingga 15 November 2020.
BPK menilai bahwa tata kelola investasi BPJS Ketenagakerjaan belum sepenuhnya memadai, sehingga kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil pengembangan dana secara optimal. Hal tersebut salah satunya muncul dari ketidakjelasan keputusan cut loss atau take profit BPJS.
Selain itu, BPK menemukan bahwa BPJS Ketenagakerjaan menanggung risiko tinggi apabila reksa dana yang dimiliki 100 persen mengalami penurunan kinerja atau rugi tanpa adanya sharing risiko dengan pihak lain. Terdapat pula potensial loss yang tinggi dari investasi saham dan reksa dana, sehingga BPK merekomendasikan sejumlah kebijakan cut loss.