Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jurus Jitu OJK Perkuat Industri Perbankan di Era Digital

Industri perbankan perlu bergerak cepat untuk menciptakan inovasi digital, berkolaborasi dan meningkatkan keamanan dalam bertransaksi.
Logo Blu BCA Digital/Istimewa
Logo Blu BCA Digital/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Akselerasi transformasi digital perbankan menjadi perhatian serius Otoritas Jasa Keuangan, guna meningkatkan daya saing sekaligus manajemen risiko.

Menangkap adanya sinyal dinamika transformasi digital yang cepat, maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meramu regulasi terkait perbankan digital. Aturan yang dirancang berkaitan dengan modal inti, syarat menjadi bank digital hingga rancangan cetak biru.

Dalam POJK 12/POJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank, tertulis bank wajib memiliki modal inti minimal Rp3 triliun, yang bisa dipenuhi secara bertahap. Pada akhir 2020, bank minimal memiliki modal inti Rp1 triliun, lalu naik menjadi Rp2 triliun pada 2021 dan wajib memenuhi Rp3 triliun pada 2022.

Bila ada bank yang tidak memenuhi modal inti sesuai dengan aturan OJK, maka bank bisa melakukan skema konsolidasi, merger hingga diakuisisi oleh bank yang memiliki modal lebih besar.

Dalam data OJK, semua bank umum telah memenuhi ketentuan modal inti Rp1 triliun. Namun, untuk menjangkau Rp2 triliun dan Rp3 triliun pada 2022, bank-bank tersebut memilih melakukan aksi korporasi.

Teguh Supangkat, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK mengatakan akselerasi transformasi digital harus sejalan dengan permodalan yang kuat untuk menerapkan teknologi yang canggih dan aman.

"OJK mendorong industri perbankan untuk meningkatkan daya saing dengan akselerasi transformasi digital, kolaborasi industri dan memperkuat aspek manajemen risiko. Ini semua akan membuat bank semakin fleksibel dalam berinovasi,"ungkap Teguh dalam Sosialisasi Cetak Biru Transformasi Digital, Selasa (26/10/2021).

Salah satu bank yang tengah berupaya memenuhi modal Rp3 triliun yakni PT Bank Yudha Bhakti Tbk. (BBYB) yang berganti nama PT Bank Neo Commerce Tbk., dengan mengusung konsep bank digital dan menjadi PT Akulaku Silvrr sebagai pemegang saham pengendali terbesar.

Selain Bank Neo, ada juga bank digital milik PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA). Untuk memperkuat bisnis bank digital maka perseroan mengakuisisi PT Bank Royal Indonesia.

Presiden Direktur BBCA Jahja Setiaatmadja mengungkapkan perbankan perlu bergerak cepat untuk menciptakan inovasi digital. Dia mengatakan syarat untuk menjadi bank digital adalah memiliki nasabah yang aktif dalam bertransaksi.

Jahja menuturkan pertumbuhan nasabah bank digital sangat bergantung dengan jenis promo yang ditawarkan ke nasabah untuk menciptakan loyalitas dalam bertransaksi. “Untuk menciptakan tren transaksi yang meningkat, kolaborasi menjadi kunci untuk memenangkan persaingan,” ungkapnya dalam webinar Bisnis Indonesia Banking Outlook 2021, Selasa (7/9/2021).

Cetak Biru Transformasi Digital

Untuk menciptakan industri perbankan yang cakap, berdaya saing dan kuat, maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meramu regulasi terkait perbankan digital mulai dari aturan modal inti, hingga Cetak Biru Transformasi Digital.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan bahwa Cetak Biru Transformasi Digital akan memberikan acuan yang lebih konkret terkait digital perbankan. Namun, saat menyusun acuan ini, Heru tak menampik bahwa pengawas perbankan menghadapi dilema.

“Kami menghadapi berbagai tantangan yakni membuat acuan untuk mendorong benefit dan inovasi atau memiliki fokus pada risiko yang akan dihadapi bank. Bila hanya fokus pada risiko digitalisasi perbankan, maka akan menimbulkan kesulitan, sehingga menimbulkan daya saing yang rendah,” ungkap Heru.

Heru tidak ingin adanya gap yang muncul saat menyusun aturan dan blue print. Dia ingin OJK tetap memfasilitasi digital perbankan berinovasi tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian. Inovasi akan terus didorong secara berkelanjutan, tetapi tetap memberikan pagar supaya nasabah terlindungi.

OJK mencatatkan industri perbankan akan berevolusi dalam tiga bagian yakni menjadi super apps, ecosystem dan menjadi penyedia platform digital bagi mitra sebagai market place dan nasabah.

“Di masa depan, bank akan berevolusi dengan model bisnis yang berbeda dari perbankan masa kini. Ekosistem digital menjadi peluang bagus, sekaligus memiliki tantangan,” ungkapnya.

bank digital
bank digital

Industri perbankan memiliki peluang untuk mengubah perbankan tradisional menjadi digital. Sebab, Indonesia memiliki tiga dukungan ekosistem digital.

Pertama, kesempatan digital yang besar. Artinya, Indonesia memiliki bonus demografi, peningkatan penetrasi internet, perkembangan fintech dan berpotensi menjadi ecommerce terbesar di Asean dengan potensi US$124 miliar pada 2025.

Kedua, perilaku digital. Pada kelompok usia produktif memiliki beberapa perangkat yang bisa digunakan untuk transaksi digital seperti smartphone, laptop dan tablet.

Ketiga, transaksi digital. Jumlah transaksi e-commerce, digital banking dan ulang elektronik meningkat, sedangkan jumlah kantor cabang dalam tren menurun.

Data OJK mencatatkan telah terjadi fenomena penurunan hingga 2.593 kantor cabang sejak 2017 hingga Agustus 2021. Meskipun jumlah kantor perbankan menurun, angka transaksi melalui m-banking terus naik hingga 300 persen sejak 2016-Agustus 2021.

Selain itu, jumlah transaksi uang digital mengalami kenaikan hingga 48 kali dari Rp5,28 triliun pada 2015, menjadi 249 triliun pada akhir 2020.

OJK juga mencatatkan industri perbankan juga melakukan pembenahan sistem perbankan elektronik dan layanan digital. Pada 2018 hanya ada 85 layanan, lalu meningkat pada 2019 dan 2020 masing-masing menjadi 112 layanan dan 124 layanan.

Dalam Cetak Biru Transformasi Perbankan ada 5 elemen yakni

1. Data

Terkait perlindungan data yang akan diberikan panduan, akurasi, kerahasiaan, pengaturan transfer data, hak nasabah dalam sharing data dan data government, yang berkaitan dengan akuntabilitas, serta check and balancing.

2. Teknologi

Mengatur tata kelola teknologi informasi, arsitektur teknologi, pengembangan teknologi, cloud, artificial intelligence dan suptech

3. Manajemen Risiko

Mencakup manajemen risiko, prinsip alih daya teknologi, bisnis yang berkesinambungan, keamanan informasi dan cyber security.

4. Kolaborasi

Berkaitan dengan kolaborasi platform sharing, kerja sama lembaga keuangan dan non lembaga keuangan.

5. Tatanan Institusi

Berhubungan dengan keuangan dan investasi, budaya, prinsip kepemimpinan, model organisasi dan tenaga ahli.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper