Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Core Indonesia Sebut Kebijakan Moneter BI yang Longgar Belum Efektif, Ini Alasannya

BI telah menurunkan suku bunga acuan 150 bps. Sejalan dengan hal tersebut, suku bunga deposito dana pihak ketiga (DPK) turun lebih besar yaitu 278 bps. Kendati demikian, suku bunga kredit justru mengalami penurunan yang cenderung lebih lambat yaitu 117 bps.
Kantor Bank Indonesia/Ilustrasi-Bisnis
Kantor Bank Indonesia/Ilustrasi-Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan atau BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) di level terendah, dinilai belum efektif dalam menggerakkan pertumbuhan kredit.

Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah, hal itu disebabkan karena penurunan suku bunga acuan belum bisa mendorong penurunan suku bunga kredit perbankan lebih cepat.

Sejak 2020, BI telah menurunkan suku bunga acuan 150 bps. Sejalan dengan hal tersebut, suku bunga deposito dana pihak ketiga (DPK) turun lebih besar yaitu 278 bps.

Kendati demikian, suku bunga kredit justru mengalami penurunan yang cenderung lebih lambat yaitu 117 bps. Padahal, menurut Piter, pelonggaran kebijakan moneter diharapkan bisa mendorong penurunan suku bunga kredit sehingga daya beli masyarakat meningkat.

"Konsumsi naik mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi kalau kita balik, yang kita alami cicilan [kredit] tidak turun, tidak mengalami penurunan suku bunga kredit, sehingga tidak berdampak ke daya beli. Daya beli sama saja [rendah] apalagi kalau kena PHK atau ptongan gaji. Jadi, kebijakan moneter dalam tanda kutip tidak efektif," jelasnya pada CORE Media Discussion di Jakarta, Rabu (29/12/2021).

Piter menilai seharusnya penurunan suku bunga nantinya bisa berdampak pada peningkatan konsumsi dan investasi karena suku bunga kredit yang ikut turun. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, dia mengatakan kebijakan penurunan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) tidak berdampak besar pada kedua hal tersebut.

"Ini kita alami bertahun-tahun setiap mengalami penurunan suku bunga acuan yang terjadi seperti itu. Tidak ada dampaknya ke konsumsi, tidak ada investasi. Karena suku bunga kredit tidak turun. Kalau suku bunga kredit tidak turun, minat investasi tidak akan naik. Apalagi di tengah pandemi, suku bunga kredit rigid, kalau return minimal, akhirnya permintaan kredit rendah. Itu yang menjelaskan sampai 2021 permintaan kredit masih sangat minim," tuturnya.

Piter menilai rendahnya transmisi kebijakan moneter pada jalur suku bunga masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang tidak kunjung diselesaikan. Hal ini menjadi semakin menantang ketika kebijakan moneter hampir pasti untuk mengalami normalisasi setelah dilonggarkan saat pandemi Covid-19.

Piter memperkirakan arah kebijakan moneter 2022 akan lebih hawkish terkait dengan kenaikan suku bunga. "Ketika menurunkan [suku bunga] saja dia tidak efektif membantu pertumbuhan ekonomi, apalagi ketika dia menaikkan suku bunga," tambahnya.

Adapun, BI telah menurunkan suku bunga acuan dan mempertahankannya di level terendah sepanjang sejarah, 3,5 persen, sejak Februari 2021.

Pada Rapat Dewan Gubernur Desember 2021, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa keputusan bank sentral tersebut sejalan dengan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan, di tengah perkiraan inflasi yang rendah dan sebagai upaya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper