Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kaleidoskop 2021: BI Mainkan 'Kartu AS', Suku Bunga Acuan Dipasang Rendah

Menghadapi sektor ekonomi dan keuangan yang terdampak pandemi Covid-19, Bank Indonesia menetapkan suku bunga acuannya di level rendah sepanjang 2021.
Karyawan keluar dari pintu salah satu gedung Bank Indonesia di Jakarta, Senin, (20/1/2020).  Bisnis/Abdullah Azzam
Karyawan keluar dari pintu salah satu gedung Bank Indonesia di Jakarta, Senin, (20/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga kebijakan di tingkat yang rendah sepanjang 2021.

Suku bunga acuan atau BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) bertahan di level 3,5 persen sejak Februari 2021 hingga akhir tahun ini. Tingkat suku bunga acuan 3,5 persen ini pun merupakan yang terendah sepanjang sejarah.

Pada Rapat Dewan Gubernur bulan ini, tepatnya pada 15 dan 16 Desember 2021, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa keputusan bank sentral tersebut sejalan dengan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan, di tengah perkiraan inflasi yang rendah dan sebagai upaya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Sebagaimana diketahui, hingga November 2021, tingkat inflasi tercatat rendah, tercermin dari Indeks Harga Konsumen yang mencatatkan inflasi sebesar 0,37 persen secara bulanan (month-to-month/mtm).

Secara tahun berjalan, tingkat inflasi hingga November 2021 mencapai 1,3 persen.

Pada Desember 2021 pun, BI memperkirakan tingkat inflasi tetap terkendali meski mengalami peningkatan sebesar 0,49 persen mtm. Sepanjang tahun ini, inflasi diperkirakan mencapai 1,79 persen.

perkiraan inflasi tersebut lebih rendah dari batas bawah target inflasi BI tahun ini, yaitu pada kisaran 2 hingga 4 persen.

Di sisi global, Perry menyampaikan bahwa perekonomian global akan tumbuh sesuai perkiraan pada tahun ini dan tahun depan, meski sejumlah risiko masih membayangi.

Ketidakpastian pasar keuangan global pun masih berlanjut di tengah penyebaran Covid-19 varian Omicron dan pengumuman siklus pengetatan kebijakan moneter the Fed, bank sentral di Amerika Serikat (AS), yang lebih cepat.

“Hal tersebut mengakibatkan terbatasnya aliran modal dan tekanan nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia,” katanya, pekan lalu.

BI memperkirakan, the Fed akan lebih cepat mengurangi pembelian aset pada Januari 2022. Pasalnya, tingkat inflasi di AS telah meningkat tinggi, di atas sasaran inflasi the Fed 2 persen. Diperkirakan, tingkat inflasi AS juga akan tetap tinggi pada 2022.

Lebih lanjut, Perry memperkirakan kenaikan Federal Funds Rate (FFR) baru akan dinaikkan setelah tapering off berakhir, yaitu pada kuartal III atau IV/2021.

Dia menegaskan, kebijakan BI7DRR tidak mengacu pada kenaikan FFR, melainkan oleh kondisi domestik, terutama tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Justru, BI akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di tingkat yang rendah pada 2022 hingga ada tanda-tanda kenaikan inflasi. Kebijakan moneter akan diarahkan untuk menjaga stabilitas pada tahun depan.

“Jangan kemudian buat konklusi kalau FFR naik, BI rate naik, tidaklah benar. Kita akan mulai dari pengurangan likuiditas secara bertahap dan keputusan BI Rate akan sangat ditentukan oleh perkiraan inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Pada 2022 pun, BI memperkirakan tingkat inflasi tetap rendah pada kisaran 2 hingga 4 persen. Di samping itu, menurut Perry kebijakan suku bunga rendah masih diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tahun depan.

“BI akan menempuh kebijakan suku bunga rendah 3,5 persen sampai ada tanda-tanda awal kenaikan inflasi,” tuturnya.

Selain itu,kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta ekonomi-keuangan inklusif dan hijau, akan diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, BI akan mulai melakukan normalisasi kebijakan moneter pada tahun depan, dengan mengurangi penambahan likuiditas atau tapering off. Kebijakan ini pun akan dilakukan secara berhati-hati dan terukur.

Dia menegaskan, pengurangan likuiditas yang dilakukan tidak akan mengganggu kemampuan perbankan untuk menyalurkan kredit.

“Pengurangan likuiditas yang akan kami lakukan tidak akan mengganggu kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit,” tegasnya.

Hal ini sejalan dengan likuiditas perbankan saat ini yang tercatat masih sangat longgar, tercermin dari rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) yang mencapai 34,24 persen pada November 2021.

“Dalam sejarah perbankan tidak pernah rasio AL/DPK di atas 25 persen, sekarang 34,2 persen, sangat-sangat longgar karena sejak awal pandemi BI menambah likuiditas dengan sangat besar,” kata Perry.

Lebih lanjut, BI juga memastikan kebijakan tapering tidak akan mengganggu peran bank sentral dalam rangka membeli Surat Berharga Negara (SBN) untuk pembiayaan penanganan Covid-19 atau stimulus ekonomi.

Adapun sepanjang 2021, BI telah melakukan pembelian SBN untuk pendanaan APBN 2021 sebesar Rp201,32 triliun, terdiri dari pembelian di pasar perdana sebesar Rp143,32 triliun sesuai dengan SKB I dan private placement di November 2021 sebesar Rp58 triliun untuk pembiayaan penanganan kesehatan dan kemanusiaan dalam rangka penanganan dampak pandemi Covid-19 SKB III.

BI juga telah menambah likuiditas atau quantitative easing di perbankan sebesar Rp141,19 triliun hingga 14 Desember 2021.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper