Bisnis, JAKARTA – Era perbankan digital yang kini makin kental menuntut semua pelaku industri perbankan untuk beradaptasi, tidak terkecuali bagi kalangan bank pembangunan daerah (PBD). Adopsi teknologi digital, pengembangan bisnis baru, hingga sinergi antar-BPD menjadi peluang yang dapat dijajaki BPD.
BPD harus lebih agresif dalam berinovasi agar dapat bersaing dengan bank-bank jumbo, khususnya di era digital yang tanpa batas. Inovasi dapat dilakukan dengan mengembangkan layanan manajemen kekayaan hingga memperkuat layanan digital, dengan harapan aset BPD dapat meningkat.
Jika menilik perkembangan kinerja BPD berdasarkan data OJK, kinerja BPD tidak begitu buruk selama periode pandemi. Aset BPD per November 2021 masih tumbuh positif 6,74 persen secara tahunan atau year-on-year (YoY) menjadi Rp867,9 triliun.
Kredit juga berhasil tumbuh cukup tinggi, yakni 5,30 persen YoY menjadi Rp511,76 triliun, sedangkan dana pihak ketiga (DPK) melesat 7,32 persen YoY menjadi Rp701,15 triliun. Pada 2020, saat dampak pandemi mencapai puncak keparahannya, kinerja BPD juga masih positif.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa BPD memiliki ketahanan yang sangat kuat di era pandemi. Model bisnis yang dijalankan BPD terbukti ampuh, sebab pada saat yang sama kinerja industri perbankan nasional justru terpukul.
Sebagai contoh, total kredit industri perbankan pada 2020 tercatat turun 2,41 persen YoY. Kinerja pertumbuhan kredit industri perbankan nasional sudah mulai negatif sejak Oktober 2020 dan bertahan hingga Mei 2021. Baru pada Juni 2021 kredit total industri perbankan tumbuh positif 0,59 persen YoY.
Per November 2021, total kredit industri perbankan tercatat sudah cukup stabil dengan tingkat pertumbuhan 4,82 persen YoY menjadi Rp5,710,06 triliun. Ini berbeda dibanding BPD yang justru tetap konsisten tumbuh positif selama pandemi.
Konsistensi kinerja BPD memang terutama ditopang oleh pangsa pasarnya yang relatif terjamin, sebab umumnya pemda mewajibkan pembayaran gaji aparatur sipil negara (ASN) melalui BPD. Kalangan ASN juga kerap menarik kredit konsumtif dari BPD, sehingga kinerja kreditnya relatif stabil. Namun, apakah hal ini akan dapat berkesinambungan?
Selain berita tersebut, beragam kabar ekonomi dan finansial yang dikemas secara mendalam dan analitik tersaji dari meja redaksi Bisnisindonesia.id. Berikut berita pilihan redaksi Bisnisindonesia.id, Jumat (11/2/2022) :
Pada awal tahun para pemangku kepentingan bisnis properti, termasuk kalangan bankir yang menyediakan fasilitas pembiayaan pemilikan rumah tapak ataupun apartemen, mengapungkan optimisme mengarungi 2022.
Salah satu latar belakang yang terkuat sehingga mereka optimistis menatap perjalanan bisnis properti tahun ini adalah relatif terkendalinya pandemi Covid-19, dan fakta bahwa sepanjang tahun lalu sejumlah subsektor properti mampu bertahan.
Selain kawasan industri yang memperlihatkan kinerja cukup bagus sepanjang 2021, subsektor properti residensial terutama rumah tapak atau landed houses pun menunjukkan kinerja gemilang.
Gegap gempita bisnis properti subsektor perumahan jelas terdengar dan menopang cashflow kalangan pengembang yang pada akhirnya menerbitkan harapan bahwa bisnis properti tetap mampu bertahan, bahkan terus bergerak ke arah positif untuk pertumbuhan tahun ini.
Faktor yang juga menentukan bisnis properti perumahan mampu menghasilkan kinerja positif pada 2021 sehingga menerbitkan prospek cerah untuk tahun ini adalah pemberlakuan insentif Pajak Pertambahan Nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP).
Sumber: Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
Penantian panjang terhadap kehadiran BUMN baru yang listing di pasar modal tampaknya bakal segera berakhir dengan rencana initial public offering (IPO) dari PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). IPO BUMN di industri jasa penyeberangan ini ditargetkan bakal rampung tahun ini, meski belum dipastikan tanggalnya.
Jika terealisasi, puasa panjang IPO BUMN akan berakhir dengan aksi korporasi ini. Hal ini pun sejalan dengan strategi Kementerian BUMN yang ingin mendorong BUMN go public.
Baru-baru ini, ada dua keluarga BUMN yang go public, tetapi statusnya adalah anak usaha BUMN, bukan BUMN. Kedua emiten itu adalah PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk. (MTEL) atau Mitratel dan PT Adhi Commuter Properti Tbk. (ADCP).
Keduanya baru hadir setelah terakhir kali anak BUMN listing pada 26 Desember 2018, yakni PT Phapros Tbk. (PEHA), anak usaha dari PT Kimia Farma Tbk. (KAEF). Kala itu, KAEF masih berstatus BUMN, tetapi kini sudah berubah menjadi anggota holding BUMN farmasi di bawah PT Bio Farma (Persero) Tbk.
Sementara itu, IPO BUMN terakhir kali terjadi pada 28 Juni 2013, yakni PT Semen Baturaja (Persero) Tbk. (SMBR). Jika ASDP Indonesia Ferry benar-benar IPO tahun ini, hal itu bakal mengakhiri puasa IPO BUMN selama 9 tahun. Namun, seberapa besar daya tarik perusahaan ini bagi investor publik nantinya?
Kapal ferry saat memasuki pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (11/2/2020). Bisnis/ Paulus Tandi Bone
Kinerja BPD akan sangat ditentukan oleh pertumbuhan jumlah dan tingkat konsumsi ASN. Di tengah program pemerintah yang kini membatasi penerimaan ASN baru, hal ini tentu bukanlah kabar baik bagi BPD.
PBD perlu memperluas pasar dan basis nasabahnya agar asetnya dapat bertumbuh lebih cepat sehingga mampu meningkatkan kinerja bisnisnya. Hal ini kini menghadapi tantangan serius, sebab pasar potensial yang seharusnya dapat digaet BPD kini sedang dimangsa oleh pelaku industri teknologi finansial.
Di sisi lain, kalangan bank-bank besar yang sudah lebih matang dari sisi infrastruktur dan jaringan bisnisnya menjadikan BPD kalah bersaing di kandangnya sendiri. Jika BPD terlambat berinovasi, akan makin sulit untuk mengejar ketertinggalan ini.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core), Piter Abdullah, mengatakan aset perbankan umumnya berasal dari DPK yang kemudian oleh bank ditempatkan dalam berbagai aset produktif, termasuk di antaranya surat utang pemerintah.
Bank-bank besar dan BPD tertentu selama pandemi ini banyak mengalami pertumbuhan DPK yang tinggi, yang membuat aset mereka tumbuh.
Bagi BPD di daerah yang memiliki anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang besar, pertumbuhan aset tidak terlalu masalah. Mereka masih bisa mengandalkan APBD.
Namun, BPD di daerah-daerah dengan APBD yang kecil dan pendapatan asli daerah (PAD) yang terbatas, harus lebih inovatif. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan digital.
“Di tengah digitalisasi yang dilakukan bank-bank besar, kalau BPD tidak melakukan inovasi digital mereka akan kalah bersaing dan ditinggalkan,” kata Piter, Rabu (9/3).
Sah! Duet Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe menjabat sebagai Kepala dan Wakil Kepala Badan Otorita Ibu Kota Nusantara.
Pelantikan kedua orang itu oleh Presiden Joko Widodo dan disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Kamis (10/3/2022) mulai pukul 15.13 WIB mengakhiri spekulasi mengenai siapa yang bakal memimpin Ibu Kota Nusantara (IKN).
Acara berlangsung singkat. Setelah melantik kedua pejabat negara tersebut dan juga Gubernur Sulawesi Selatan yang dilanjutkan dengan pemberian ucapan selamat dari hadirin, Presiden Jokowi langsung meninggalkan ruangan.
Tak lama kemudian, Bambang dan Dhony tampil memberi pernyataan pers lebih kurang 10 menit.
“Saya sendiri dikontak sekitar 2 minggu lalu ... baru kemarin kami menyelesaikan tugas dan tangung jawab kami di Asian Development Bank ... yang berkedudukan di Manila," kata Bambang.
Adapun, Dhony mengatakan, “Saya dihubungi oleh Pak Pratikno [Menteri Sekretaris Negara] seminggu setelah kunjungan Presiden ke tempat pengembangan pusat pertumbuhan baru di BSD … Baru kemarin, Rabu ada perintah yang diminta saya untuk membantu menyukseskan pembangunan Ibu Kota Nusantara.”
Sebelumnya pada Jumat (24/12/2022), Presiden Joko Widodo bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa mengunjungi Kawasan Green Office Park, BSD City.
Kunjungan kerja Presiden Jokowi seperti dikutip melalui laman www.sinarmasland.com bertujuan untuk melihat progres pembangunan kota baru oleh pihak swasta dalam hal ini Sinar Mas Land melalui salah satu proyeknya yakni BSD City.
Kunjungan ini berkaitan dengan rencana pemerintah dalam pembangunan proyek IKN baru yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur.
Presiden Joko Widodo melantik Kepala Otorita IKN Bambang Susantono (kiri) dan Wakil Kepala Otorita IKN Dhony Rahajoe, Kamis (10/3/2022).-Tangkapan layar kanal YouTube Sekretariat Presiden
Nama Prajogo Pangestu sudah tak asing lagi bagi kalangan pebisnis Tanah Air. Sosok pria berusia 77 tahun itu bukanlah pebisnis kaleng-kaleng, intuisinya kuat dan jejaring bisnisnya luas.
Tak ayal, bisnis yang dibangunnya merangsek ke berbagai sektor. Mulai dari bisnis di sektor kehutanan, lalu membangun bisnis petrokimia, hingga akhirnya masuk bisnis sektor energi baru terbarukan (EBT).
Berdasarkan keterangan resmi situs Grup Barito, Prajogo ternyata sudah mengincar bisnis di sektor energi hijau sejak 2009. Kala itu, bisnis energi hijau belum ‘booming’ seperti saat ini. Tak banyak pula pebisnis Indonesia yang membangun bisnis di sektor tersebut.
Namun, Prajogo mulai bermanuver dengan mengakuisisi perusahaan panas bumi bernama Star Energy. Perusahaan panas bumi itu didirikan pada tahun 2003 dan menjelma menjadi perusahaan panas bumi terbesar di Indonesia.
Prajogo Pangestu.- Istimewa
Pada awalnya, Prajogo mengincar 51 persen saham Star Energy dengan nilai yang ditaksir mencapai Rp 5,1 triliun atau US$ 555 juta. Namun, dia baru bisa menguasai 40 persen saham perusahaan tersebut pada 2009 setelah membeli dari pendiri Star Energy, Supramo Santoso.
Sembilan tahun berselang, Prajogo tercatat memiliki 66,67 persen saham Star Energi Group Holdings Pte Ltd. Menariknya, setelah menguasai mayoritas saham Star Energy, Prajogo menjualnya ke PT Barito Pacific Tbk. (BRPT).
Barito Pacific merupakan perusahaan yang didirikan Prajogo dan mayoritas sahamnya juga dimiliki olehnya. Pada 2018, Barito mengakuisisi 66,67 persen saham Star Energy Group Holding Pte Ltd senilai US$ 755 juta atau setara Rp 8,9 triliun.
Hampir empat tahun berselang, Prajogo kembali membuat gebrakan dengan memborong saham Star Energy Group Holding melalui Green Era Pte Ltd dari BCPG Thailand.
Green Era melakukan akuisisi dengan pembayaran tunai untuk saham sebesar US$ 440 juta atau setara dengan Rp 6,29 triliun (asumsi kurs Rp 14.300) yang mewakili 33,33 persen dari seluruh saham yang ditempatkan dan disetor di Star Energy. Dengan akuisisi tersebut, Prajogo Pangestu melalui Grup Barito secara resmi mengendalikan seluruh saham Star Energy.
Adapun, manuver bisnis Prajogo di sektor energi hijau ikut memantik taipan lainnya melirik bisnis masa depan itu. Sejumlah konglomerat mulai bersiap masuk bisnis energi baru terbarukan. Salah satunya Grup Sinarmas yang menggarap bisnis energi hijau melalui PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA).