Bisnis.com, JAKARTA — Rencana regulasi anyar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memungkinkan entitas perbankan mengakuisisi platform teknologi finansial, dinilai menjadi angin segar di tengah ketatnya kompetisi industri tekfin atau fintech.
Edward Ismawan Chamdani, Co-founder & Managing Partner Gayo Capital (Ideosource Green Initiative) sekaligus Bendahara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) mengungkap bahwa hal tersebut begitu relevan terutama buat industri tekfin klaster pendanaan bersama (P2P lending).
Menurutnya, tekfin P2P lending yang belum punya ciri khas dalam menjaring peminjam (borrower), alias belum memiliki ekosistem tertentu yang bisa terus menjadi langganan, cenderung akan lebih sulit berkompetisi di masa depan.
"Industri P2P lending berisi sekitar 100 platform. Jadi agar bisa lebih cepat berkembang, butuh ekosistem borrower yang pasti, yang spesifik. Kalau menyasar segmen terlalu luas, pasti kalah dengan yang sudah besar duluan. Maka, memang ada benarnya kalau beberapa platform itu memang terlahir untuk diakuisisi," ujarnya kepada Bisnis, Jumat (18/3/2022).
Edward mencontohkan beberapa di antaranya, yaitu platform P2P yang kini berada di bawah naungan platform e-commerce atau ride-hailing sebagai penyelenggara produk bayar tunda (paylater). Mereka lebih mudah menjaring borrower karena mengandalkan ekosistem user di platform induk usaha.
Ada pula platform yang menginduk kepada startup agritech, akhirnya memiliki nama besar karena secara spesifik memiliki kemampuan memberikan permodalan untuk borrower petani. Terakhir, walaupun belum terlalu terlihat, ada contoh platform P2P yang dicaplok salah satu dompet digital, yang akhirnya membawa platform tersebut memiliki tujuan bisnis yang lebih pasti.
Baca Juga
"Sama juga ketika diakuisisi perbankan. Bank mendapat manfaat teknologi dan fleksibilitas fintech, semacam mendapat sistem loan origination baru. Adapun, fintech jelas mendapat berkah kepastian bisnis. Misalnya, kalau bank punya nasabah yang terlalu berisiko atau terlalu costly untuk diberikan kredit, bisa langsung diarahkan ke tekfin anak usaha," tambahnya.
Edward menambahkan bahwa akuisisi bank juga mampu menjembatani keterbatasan industri P2P lending, di mana hanya diperbolehkan maksimal menyalurkan pinjaman senilai Rp2 miliar. Artinya, apabila borrower pelaku usaha tekfin sudah membutuhkan pinjaman lebih besar dari nominal tersebut, bank bisa dengan mudah mengangkutnya menjadi debitur.
Senada, Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko menjelaskan secara umum hadirnya industri tekfin pun sebenarnya merupakan pelengkap industri perbankan. Sehingga rencana aturan OJK ini sejalan dengan visi membuka percepatan inklusi keuangan dan ekosistem ekonomi digital yang lebih baik di Tanah Air.
"Secara umum, kami menyambut baik rencana OJK tersebut, karena merupakan sinyal positif untuk ikut membawa industri P2P lending lebih matang. Lagipula, kolaborasi bank dan fintech merupakan keniscayaan. Kami sudah punya teknologi, credit scoring, API, dan sebagainya. Daripada bank mengembangkan sendiri, kalau merasa cocok dengan suatu platform, jadi lebih praktis karena bisa langsung mengakuisisi," ujarnya kepada Bisnis.
Namun, Sunu kurang sepakat dengan pendapat bahwa banyak platform P2P lending berizin saat ini yang memang hanya menunggu untuk 'dicaplok' saja.
Menurutnya, setiap platform punya kesempatan yang sama untuk menjadi besar karena potensi bisnis yang masih luas, ditambah fenomena kesenjangan akses kredit di Indonesia yang terlampau besar untuk hanya dinikmati segelintir pemain.
"Selain itu, bank pun kalau berminat mengakuisisi, pasti akan melirik platform yang kualitasnya di atas standar dan relevan buat kebutuhan entitas grup. Apalagi, setelah suatu platform tekfin itu menjadi bagian dari entitas besar yang high regulated seperti perbankan, kepercayaan masyarakat atau institusi menjadi pengguna platform tersebut pasti naik, baik itu sebagai lender, maupun borrower," tambahnya.