Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kadin Beberkan Pentingnya Restrukturisasi Kredit Diperpanjang

Perpanjangan restrukturisasi kredit ini menjadi penting dikarenakan adanya beberapa tekanan global pada paruh kedua 2022-2023.
Chair B20 Indonesia dan Wakil Ketua Kadin Shinta Widjaja Kamdani dan Chair B20 Women in Business Action Council sekaligus Presiden Direktur PT Unilever Indonesia Tbk. Ira Noviarti berfoto bersama setelah sesi wawancara eksklusif mengenai Presidensi B20 Indonesia dorong peran perempuan di ekonomi global melalui Women in Business Action Council, Rabu (25/1/2022)/BISNIS-Dwi Nicken Tari.
Chair B20 Indonesia dan Wakil Ketua Kadin Shinta Widjaja Kamdani dan Chair B20 Women in Business Action Council sekaligus Presiden Direktur PT Unilever Indonesia Tbk. Ira Noviarti berfoto bersama setelah sesi wawancara eksklusif mengenai Presidensi B20 Indonesia dorong peran perempuan di ekonomi global melalui Women in Business Action Council, Rabu (25/1/2022)/BISNIS-Dwi Nicken Tari.

Bisnis.com, JAKARTA - Kamar Dagang Indonesia (Kadin) menilai kebijakan restrukturisasi kredit perlu diperpanjang guna menjaga momentum pemulihan ekonomi.

Di samping itu, pengusaha melihat restrukturisasi kredit ini juga dapat mengimbangi potensi pelemahan pasar dan efek tapering terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka pendek-menengah.

Wakil Ketua Kadin Shinta Widjaja Kamdani mengatakan kebijakan tersebut menjadi penting dikarenakan adanya beberapa tekanan global pada paruh kedua 2022-2023 ini, di antaranya proyeksi perlambatan pertumbuhan ekonomi global, tekanan inflasi di pasar domestik dan tekanan kenaikan suku bunga dari negara-negara maju yang bakal lebih terasa sehingga membebani kinerja ekonomi nasional.

“Kita tidak tahu bagaimana pasar domestik bisa bertahan dari potensi peningkatan inflasi dan bagaimana sektor riil kita bertahan dalam proyeksi peningkatan tekanan kinerja karena potensi pelemahan nilai tukar, kenaikan suku bunga dan penurunan daya beli pasar,” ujar Shinta saat dihubungi Bisnis, Rabu (22/6/2022).

Menurut Shinta, restrukturisasi kredit bisa menjadi solusi bila sewaktu-waktu daya beli menurun atau beban usaha meningkat di luar ekspektasi hingga tidak bisa mendukung konsumsi dan kinerja sektor riil nasional.

“Kita juga tidak tahu seberapa jauh kita bisa meng-counter efek-efek ini dan mempertahankan pemulihan ekonomi,” imbuhnya,

Terkait dengan likuiditas, Shinta mengatakan pengusaha tidak ada masalah karena baru bulan lalu Bank Indonesia meningkatkan giro wajib minimum (GWM) karena loan to deposit ratio-nya dianggap kurang ideal untuk mendukung pemulihan, dimana likuiditas jauh lebih banyak daripada permintaan kreditnya.

“Kalau ke depannya dibutuhkan untuk mendukung restrukturisasi atau mengstimulasi kredit, saya rasa masih ada ruang untuk penambahan likuiditas,” ucapnya.

Lebih lanjut, Shinta menjelaskan bahwa efek restrukturisasi terhadap pemulihan sangat positif dan sifatnya di semua sektor. Namun, kata Shinta, apabila dilihat sepanjang pandemi Covid-19, yang paling banyak terbantu adalah perusahaan-perusahaan di sektor-sektor yang sangat tertekan kinerjanya oleh pandemi seperti sektor pariwisata, transportasi, manufaktur, atau retail.

“Perkembangan kredit di sisi pelaku usaha sejauh ini masih positif karena didukung oleh confidence konsumsi pasar domestik yg semakin kuat dan transisi fase endemi. Namun, pada saat yang sama kami juga berhati-hati untuk menciptakan kredit baru karena faktor uncertainty beban kreditnya tinggi, termasuk karena ada potensi kenaikan suku bunga di paruh kedua 2022,” jelasnya.

Karena itu, Shinta mengungkapkan pelaku usaha cenderung menciptakan permintaan kredit tumbuh moderat, atau tidak agresif.

“Semoga saja dengan perpanjangan restrukturisasi kredit confidence pelaku usaha bisa lebih tinggi untuk mengambil kredit dan melakukan ekspansi usaha,” ucapnya.

Selain itu, Shinta mengatakan restrukturisasi masih dibutuhkan oleh pelaku usaha karena banyak hal dalam kondisi saat ini. Pertama, karena sebagian besar sektor usaha di Indonesia belum menciptakan kinerja seperti sebelum pandemi atau kinerjanya belum stabil, khususnya ketika di komparasi dengan beban usaha normal.

Kedua, karena potensi pelemahan kinerja pasar domestik dan internasional dalam jangka pendek sangat tinggi sehingga akan mempengaruhi kapabilitas pelaku usaha untuik membayar pinjaman.

“Ketiga, potensi kenaikan beban-beban usaha pokok dalam jangka pendek juga sangat tinggi, khususnya karena inflasi nasional yang cenderung terus berada di atas normal, pelemahan nilai tukar, kenaikan harga komoditas global dan kenaikan suku bunga sehingga mempengaruhi beban usaha dan belum tentu bisa ditanggung oleh kinerja/penerimaan yang ada saat ini,” tuturnya.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan atau OJK, nilai restrukturisasi kredit terus membaik. Sampai dengan April tahun ini, nilai restrukturisasi kredit diperkirakan mencapai sekitar Rp606 triliun. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan puncak restrukturisasi kredit pada 2020 yang mencapai hampir sekitar Rp1.000 triliun.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan bahwa regulator perlu mempertimbangkan untuk memberikan perpanjangan masa restrukturisasi minimal selama 1 tahun ke depan.

“Mungkin dapat dipertimbangkan oleh Komisioner baru OJK perpanjangan 1 tahun dulu, nanti kita evaluasi kembali,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Indra Gunawan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper