Bisnis.com, JAKARTA – Perbankan diminta mewaspadai potensi moral hazard dari para debitur jika periode restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 kembali diperpanjang.
Dalam acara Bisnis Indonesia Banking Outlook 2022, sejumlah bankir mengusulkan agar masa restrukturisasi kredit dapat diperpanjang kembali. Pasalnya, tekanan perekonomian saat ini menyisakan kekhawatiran terhadap prospek kinerja debitur.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, menilai perpanjangan restrukturisasi kredit memiliki sisi positif sekaligus negatif. Pada satu sisi, perpanjangan itu setidaknya akan menahan lonjakan kredit macet.
Dengan demikian, cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) akan berkurang. Hal ini nantinya membuat alokasi untuk kredit bertambah karena dana yang dicadangkan untuk menahan kerugian tidak begitu tinggi.
Namun, di sisi lain, Abdul berpendapat bahwa perpanjangan restrukturisasi kredit berpotensi menimbulkan moral hazard dari para debitur di tengah ketidakpastian situasi ekonomi saat ini.
“Apalagi untuk saat ini situasi ekonomi sedang tidak bagus sehingga memang muncul ada rekomendasi atau keinginan dari perbankan agar restrukturisasi bisa diperpanjang,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (22/6/2022).
Baca Juga
Menurutnya, untuk menangani potensi moral hazard, bank harus lebih tajam memantau bisnis para debitur secara berkala. Mulai dari proses produksi hingga pemasarannya. Akan tetapi, jika ini dilakukan maka bank memerlukan biaya tambahan untuk melakukan survei ataupun monitoring.
"Mau tidak mau, jika itu tidak dilakukan maka nanti kreditnya akan macet apabila tidak ada pemantauan atau monitoring,” pungkasnya.
Sebagaimana diberitakan Bisnis sebelumnya, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), Jahja Setiaatmadja, mengusulkan agar masa restrukturisasi kredit terdampak pandemi Covid-19 kembali diperpanjang. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya telah memperpanjang periode restrukturisasi kredit perbankan sampai dengan Maret 2023.
Jahja mengatakan bahwa usulan untuk memperpanjang periode restrukturisasi akan sangat bergantung pada kebijakan pimpinan OJK yang baru.
“Apakah bisa ini [restrukturisasi] diperpanjang setahun lagi? Karena ibaratnya petinju kalau sudah kena gebuk sedikit untuk recovery butuh waktu. Biarpun dia sehat tetapi tetap perlu waktu untuk pemulihan,” ujarnya.
Jahja melihat selama program restrukturisasi bergulir banyak nasabah yang terbantu oleh relaksasi tersebut. Akan tetapi, meningkatnya inflasi serta panasnya tensi geopolitik Rusia-Ukraina semakin membuat kondisi ekonomi saat ini dilanda ketidakpastian.
OJK mencatat bahwa nilai restrukturisasi kredit dari debitur industri perbankan yang terdampak pandemi Covid-19 semakin turun. Sampai dengan April 2022, nilai kredit restrukturisasi Covid-19 menyisakan Rp606,39 triliun.
Nilai kredit restrukturisasi tersebut konsisten turun setiap bulan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi debitur semakin kuat dan sanggup memenuhi kewajiban pembayaran. Sejumlah pelaku usaha bahkan bukan hanya mampu memulihkan bisnisnya, tetapi telah melampaui kinerja sebelum pandemi.