Bisnis.com, JAKARTA – Pulihnya aktivitas ekonomi saat ini membuat outstanding restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) turun 55,57 persen per April 2022.
Secara akumulasi, kredit yang direstrukturisasi BRI akibat pandemi mencapai Rp249,33 triliun dan saat ini tersisa Rp138,57 triliun. Dengan demikian, perseroan telah menurunkan restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 hingga Rp110,75 triliun.
Direktur Manajemen Risiko BRI Agus Sudiarto mengatakan perseroan telah menyiapkan strategi antisipasi pasca masa restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 berakhir.
Menurutnya, BRI secara konsisten menyiapkan strategi soft landing dengan meningkatkan pencadangan dan melakukan percepatan penyelesaian terhadap nasabah restrukturisasi Covid-19, yang tidak memiliki kemampuan bayar.
Strategi tersebut diharapkan turut menopang target pencapaian pertumbuhan kredit BRI pada tahun ini yang dipatok sebesar 9 persen hingga 11 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
“BRI optimistis angka restrukturisasi Covid-19 akan terus menurun seiring dengan pulihnya aktivitas sosial dan ekonomi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (13/6/2022).
Baca Juga
Sampai dengan April 2022, pencadangan untuk kredit tercatat mencapai Rp86,6 triliun atau 261,32 persen terhadap rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) dan 39,97 persen terhadap kredit berkualitas rendah (loan at risk/LAR).
Lebih lanjut, Agus menambahkan bahwa emiten bank berkode saham BBRI ini terus menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan. Dari segi manajemen risiko, Agus menargetkan NPL dapat terkendali di level 3,0 persen pada 2022.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat terdapat sejumlah bank masih dalam proses restrukturisasi kredit terdampak Covid-19. Adapun, otoritas memproyeksikan kredit restrukturisasi Covid-19 mencapai Rp606,39 triliun per April 2022.
“Proyeksi sementara di April ini kredit restrukturisasi Covid-19 masih ada Rp606,39 triliun. Ini sudah jauh dari angka pertama yang sampai titik tertinggi hampir Rp1.000 triliun di 2020,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.
Wimboh berharap nilai restrukturisasi kredit Covid-19 akan turun, seiring dengan kenaikan pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengingat, kebijakan relaksasi ini akan berakhir pada Maret 2023.