Bisnis.com, JAKARTA – Perusahaan konsultan strategi global asal Jerman, Simon-Kucher & Partners, melaporkan bahwa jumlah bank digital atau neobank tumbuh pesat dalam 2 tahun terakhir di seluruh dunia. Namun, hanya segelintir yang mampu membukukan keuntungan.
Laporan bertajuk The Future of Neobanking, how can Neobanks unlock profitable growth? yang rilis bertanggal Mei 2022 ini menyebutkan ada 400 neobank yang teridentifikasi di dunia hingga Januari 2022, tetapi kurang dari 5 persen yang mencapai titik impas atau break even point (BEP).
Mitra Senior Simon-Kucher, Christoph Stegmeier, mengatakan bahwa kurang dari 85 bank digital di Amerika Serikat (AS) yang mencapai BEB. Sementara itu, beberapa bank yang suka ‘bakar uang’ kehilangan US$140 per pelanggan tiap tahunnya.
Dalam tingkat yang lebih tinggi, laporan tersebut menyampaikan bahwa kegiatan ‘bakar uang’ dari bank-bank digital di dunia telah menyebabkan kerugian tahunan lebih dari US$100 juta dalam beberapa kasus. Apalagi, jika ditambah dengan biaya akuisisi yang tinggi.
“Bank digital telah tumbuh yang sangat cepat, tetapi pada saat yang sama kami memperkirakan kurang dari 5 persen yang menguntungkan,” kata Christoph Stegmeier, mitra senior Simon-Kucher, dikutip dari Forbes, Rabu (1/6/2022).
Hal senada sebelumnya pernah diungkapkan oleh Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA Jahja Setiaatmadja, dalam webinar Bisnis Indonesia Banking Outlook pada September 2021.
Baca Juga
Kala itu, Jahja berujar bahwa cepatnya pertumbuhan nasabah bank digital tidak terlepas dari promo yang ditawarkan. Namun, hal itu tidak cukup untuk membuat nasabah loyal bertransaksi. Oleh karena itu, bank digital perlu berkolaborasi untuk memenangkan persaingan.
Selain itu, kata Jahja, ada sejumlah syarat bagi bank digital untuk bertahan di tengah ketatnya persaingan. Salah satunya adalah mempunyai nasabah yang aktif. Ini menjadi penting karena profitabilitas datang dari jumlah transaksi, bukan nominal pengguna.
“Partner yang mereka gandeng ini menentukan sekali ke depannya untuk perkembangan digital bank,” kata Jahja.
Sementara itu, emiten bank dengan kode saham BBCA ini memiliki pendekatan berbeda jika dibandingkan dengan cara-cara yang ditempuh oleh bank digital pada umumnya.
Dalam satu paparan publik yang dirilis di keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia tahun lalu, manajemen BCA mengatakan, perseroan juga memiliki program diskon, meski tidak terlampau agresif. Hal ini dilakukan karena perseroan lebih menawarkan solusi atas kebutuhan nasabah, ketimbang menarik nasabah sesaat berdasarkan promosi.
“Kami memperhatikan usage dan kebutuhan transaksi nasabah. Akuisisi nasabah pada suatu bank tidak sulit, tapi tantangannya adalah menjaga customer relationship jangka panjang.”
Sementara itu, Stegmeier menuturkan bahwa para bank digital atau calon bank digital perlu menyerukan pemikiran kritis, disiplin, dan fokus pada profitabilitas sejak awal. Bukannya membidik pertumbuhan pengguna yang cepat tanpa bergerak melampaui titik impas.
Menurutnya, langkah pertama yang dapat dilakukan oleh bank digital adalah mengidentifikasi kendala yang dialami oleh nasabah, sehingga mereka mau membayar untuk sebuah solusi. Laporan Simon-Kucher juga menyarankan agar neobank dapat mendeteksi tren produk yang menguntungkan dan memperluas jangkauan produk yang sesuai.