Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pinjol Kena Pajak Per 1 Mei 2022, Asosiasi Masih Berharap Relaksasi

Asosiasi berharap para platform dalam industri P2P lending atau pinjaman online (pinjol) diberi kesempatan untuk tumbuh semaksimal mungkin terlebih dahulu, sebelum dibebani perpajakan yang berpotensi membuat biaya layanan semakin mahal.
Perusahaan pinjol atau p2p lending kena pajak per 1 Mei 2022, asosiasi masih berharap relaksasi. /Samsung.com
Perusahaan pinjol atau p2p lending kena pajak per 1 Mei 2022, asosiasi masih berharap relaksasi. /Samsung.com

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) masih berharap pemerintah meninjau ulang aturan perpajakan buat industri teknologi finansial pendanaan bersama (P2P lending) atau pinjaman online (pinjol).

Sebagai informasi, kebijakan perpajakan anyar yang akan berpengaruh terhadap industri ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang PPh dan PPN Atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Terkhusus platform P2P lending, beleid ini mengatur mekanisme potong pajak penghasilan (PPh) atas imbal hasil atau bunga yang diterima pemberi pinjaman (lender), serta pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas fee dan komisi segala jasa besutan platform, termasuk penyaluran pinjaman kepada penerima pinjaman (borrower).

Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah menjelaskan bahwa ketika aturan perpajakan baru mulai berlaku per 1 Mei 2022, kemungkinan besar akan membuat layanan dari para platform semakin mahal.

Padahal, keberadaan industri tekfin P2P lending berperan penyedia akses kredit masyarakat unbanked dan underserved, serta segmen UMKM, yang notabene bertahun-tahun tidak terlayani akses kredit perbankan maupun lembaga keuangan konvensional lain.

"Kami masih berharap suatu saat aturan perpajakan ini bisa ditinjau ulang, karena berpotensi kontraproduktif terhadap tujuan tersebut. Terlebih, lembaga keuangan lain tidak kena PPN," ujarnya dalam diskusi terbatas bersama media, dikutip Kamis (23/6/2022).

Kus menyebut pihaknya sebenarnya juga telah mengusulkan agar pemerintah memberikan relaksasi, minimal menunda penerapan aturan ini, dengan harapan para platform dalam industri bisa tumbuh lebih besar terlebih dahulu.

Misalnya, ketika nanti penyaluran industri P2P lending sudah mencapai Rp500 triliun per tahun. Sebagai perbandingan, tahun lalu penyaluran pinjaman mencapai Rp155,97 triliun, sementara tahun ini proyeksinya sekitar Rp225 triliun.

"Kalau industri sudah mencapai tahap sebesar itu, negara mungkin bisa dapat lebih besar lagi, karena platform P2P lending punya kesempatan lebih lama untuk berkembang dan digunakan oleh masyarakat luas. Negara juga dapat efek UMKM tumbuh lebih cepat, karena kami punya kesempatan menjangkau UMKM yang ada di bottom of pyramid," tambahnya.

Selain itu, relaksasi juga diperlukan agar masih ada waktu menyelesaikan beberapa isu teknis. Misalnya, soal potong PPh untuk imbal hasil lender. AFPI melihat belum semua platform siap untuk menerapkannya secara optimal.

"Karena satu borrower itu bisa didanai oleh ratusan, bahkan ribuan entitas lender. Jadi terkait potong PPh itu teknisnya tidak gampang dan tidak bisa manual. Infonya akan ada sistem Bukti Potong elektronik dari pihak Dirjen Pajak, tapi dari pengalaman teman-teman platform yang sudah mencoba pun masih belum optimal dari sisi teknisnya," jelasnya.

Namun demikian, AFPI optimistis industri P2P lending tetap mampu mengoptimalkan peran memberikan akses keuangan terhadap masyarakat dan UMKM yang masih berstatus unbanked dan unbankable lewat berbagai keunikannya.

AFPI masih belum mengubah proyeksi penyaluran pinjaman pada tahun ini. Selain itu, minat lender dan borrower menjadi pengguna platform P2P lending pun diharapkan masih terjaga, bahkan mulai terjadi peningkatan.

"Semoga saja aturan perpajakan baru ini tidak berdampak pada competitiveness P2P lending, karena ada beberapa pemain mengaku khawatir soal itu. Tapi kalau pun terjadi, harapannya keunggulan dari P2P lending, seperti dari sisi kecepatan dan pemanfaatan data alternatif untuk credit scoring, itu masih bisa menjadi penyeimbang," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Aziz Rahardyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper