Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Mohammad Faisal

Direktur Eksekutif CORE Indonesia

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Transformasi Digital Keuangan di Daerah

Transformasi pelayanan publik mendorong transparansi, akuntabilitas, serta efisiensi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Petugas Bank Indonesia (BI) Tegal mempraktekkan cara melakukan pembayaran melalui aplikasi uang elektronik server based, dompet elektronik dan mobile banking saat peluncuran dan implementasi QR Code Indonesian Standard (QRIS) untuk desa wisata di Pasar Slumpring, Desa Cempaka, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Minggu (16/2/2019). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah
Petugas Bank Indonesia (BI) Tegal mempraktekkan cara melakukan pembayaran melalui aplikasi uang elektronik server based, dompet elektronik dan mobile banking saat peluncuran dan implementasi QR Code Indonesian Standard (QRIS) untuk desa wisata di Pasar Slumpring, Desa Cempaka, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Minggu (16/2/2019). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Bisnis.com, JAKARTA - Perkembangan teknologi digital makin berpengaruh terhadap aktivitas perekonomian, tidak hanya pada sektor swasta tetapi juga di sektor publik. Pesatnya perkembangan digitalisasi keuangan publik di Indonesia, yakni dalam pengelolaan penerimaan dan belanja pemerintah, saat ini tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi sudah merambah hingga ke daerah-daerah.

Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa transformasi digital dalam keuangan publik menjadi makin populer. Pertama, bagi pemerintah daerah, digitalisasi dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta mampu mendongkrak pendapatan daerah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pengadaan barang dan jasa publik yang semakin meningkat.

Hal ini menjadi makin penting jika melihat fakta bahwa kapasitas fiskal sebagian besar daerah di Indonesia masih sangat terbatas. Hasil penilaian Kementerian Keuangan pada 2020 menunjukkan bahwa ada 380 kabupaten/kota, atau lebih dari separuh jumlah kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki kapasitas fiskal dalam kategori rendah dan sangat rendah.

Kedua, transformasi pelayanan publik mendorong transparansi, akuntabilitas, serta efisiensi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam hal perpajakan, misalnya rendahnya kepatuhan pajak seringkali disebabkan oleh prosedur pelaporan dan pembayaran yang tidak efisien dan tidak memudahkan bagi wajib pajak. Selain itu, masih maraknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik termasuk di daerah-daerah makin menuntut peningkatan transparansi dan akuntabilitas yang diharapkan dapat diwujudkan melalui digitalisasi dalam pengelolaan keuangan daerah.

Ketiga, perkembangan pesat teknologi digital yang dibarengi dengan lonjakan penggunaan transaksi digital sejak pandemi Covid-19, merupakan peluang yang semestinya dimanfaatkan untuk mendorong reformasi pelayanan publik.

Di Indonesia, transaksi pembayaran nontunai melalui telepon seluler (smartphone) mengalami akselerasi yang luar biasa. Dalam 5 tahun terakhir, nilai transaksi pembayaran digital melonjak dari Rp12,4 triliun pada 2017 menjadi Rp305,4 triliun tahun 2021, atau tumbuh rata-rata 115,8 persen setiap tahunnya.

Meskipun baru berkembang dalam waktu kurang dari 10 tahun, volume transaksi melalui uang elektronik (e-money) tahun ini diperkirakan mencapai 8,1 miliar transaksi, atau menyamai volume transaksi melalui kartu (card payment) yang sudah lebih lama diperkenalkan. Diperkirakan dalam waktu dekat pembayaran melalui e-money akan dengan segera melampaui card payment.

Di Kawasan Asean, nilai ekonomi digital di Indonesia pada 2021 juga tumbuh paling tinggi, yakni sebesar US$26 miliar atau 59% secara year-on-year. Pertumbuhan transaksi digital ini diperkirakan akan lebih pesat lagi dalam tahun-tahun mendatang, dan fenomena ini sudah semestinya dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk melakukan transformasi digital untuk meningkatkan pelayanan dan mendorong kepatuhan pajak.

Terlebih lagi dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah semakin kesulitan mendongkrak penerimaan karena kondisi daya beli masyarakat dan pendapatan pelaku usaha masih belum sepenuhnya pulih akibat efek dari pandemi (scarring effect). Padahal kebutuhan belanja publik untuk menanggulangi dampak pandemi justeru semakin besar.

Saat ini sebenarnya sudah ada beberapa pemerintah daerah yang telah mengadopsi teknologi digital dalam pengelolaan keuangan untuk mendongkrak penerimaan daerahnya. Pemerintah Kota Surakarta, contohnya, sejak 2020 telah menerapkan aplikasi untuk pembayaran pajak daerah secara non tunai. Demikian pula dalam pembayaran retribusi pasar dan tempat parkir telah dapat dilakukan dengan menggunakan e-money dan QRIS. Tidak hanya di Pulau Jawa, daerah-daerah di luar Jawa pun telah mulai mengembangkan aplikasi untuk pembayaran pajak dan retribusi daerah secara non tunai dengan menggunakan QRIS.

Meskipun dalam penerapannya aplikasi tersebut masih memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki, inovasi digital dalam keuangan publik yang dilakukan di sejumlah daerah ini merupakan langkah terobosan yang penting untuk merespon perkembangan perilaku ekonomi masyarakat yang kian dinamis mengikuti tren digitalisasi.

Ke depan, kita juga tidak dapat menutup mata bahwa untuk mendorong digitalisasi di daerah perlu pembenahan mendasar di berbagai aspek, termasuk hard infrastructure dan soft infrastructure. Infrastruktur telekomunikasi merupakan pondasi yang perlu dibangun secara meluas hingga ke daerah-daerah terjauh yang umumnya masih mengalami keterbatasan infrastruktur. Mengingat kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, pembangunan kabel bawah laut perlu terus digalakkan hingga menjangkau daerah-daerah terjauh, terluar dan terdepan.

Untuk daerah-daerah yang telah mampu mengembangan inovasi digital, pengembangan aplikasi juga perlu mempertimbangkan kompatibilitas dengan sistem dan kapasitas infrastruktur digital yang ada. Tidak jarang terjadi, aplikasi yang baru dibuat tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena terkendala oleh sistem yang justru mengganggu kualitas pelayanan, seperti tertundanya pelayanan di suatu instansi maupun yang bersifat antar instansi di daerah.

Dalam hal soft infrastruktur, literasi keuangan digital dari sumber daya manusia juga menjadi salah satu kunci keberhasilan digitalisasi keuangan daerah. Dalam hal ini, Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Data dari OECD menunjukkan bahwa tingkat pemahaman keuangan digital Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asia lainnya seperti Tiongkok, Korea dan Thailand. Ini pun baru penilaian literasi secara agregat yang belum mempertimbangkan lebarnya kesenjangan literasi antar daerah di Indonesia.

Terakhir, upaya mendorong transformasi digital dalam pengelolaan keuangan daerah juga perlu diawasi jangan sampai sekedar berorientasi pada proyek (proyektisasi) tanpa memperhatikan efektivitas, optimalisasi serta keberlanjutan pemanfaatannya untuk kepentingan masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper