Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono menyampaikan, risiko kenaikan inflasi global berpotensi memberikan dampak terhadap bisnis asuransi.
Menurutnya, imbas inflasi bagi sektor asuransi yang berpotensi dirasakan adalah kenaikan biaya klaim, khususnya pada sektor asuransi umum. Potensi risiko inflasi yang semakin tinggi juga dapat mempengaruhi penerimaan premi untuk bisnis baru karena pola pengeluaran masyarakat akan lebih konservatif.
"Salah satu indikator yang kami cermati dan mendapat perhatian adalah akumulasi penerimaan premi selama periode semester pertama 2022. Penerimaan premi industri tercatat menurun sebesar 0,03 persen year-on-year (yoy) dibanding dengan periode sebelumnya, sementara di sisi lain nilai klaim pada periode yang sama justru meningkat," ujar Ogi dalam sebuah webinar, Kamis (28/7/2022).
Di sisi lain, lanjut Ogi, dampak kenaikan harga secara luas juga akan dirasakan oleh pemegang polis. Kondisi tersebut dapat menurunkan kemampuan pemegang polis dalam memenuhi kewajiban pembayaran premi lebih lanjut sehingga berpengaruh terhadap kenaikan lapse and surrender ratio.
Ogi pun mengingatkan agar perusahaan asuransi melakukan sejumlah upaya dalam mengantisipasi risiko kenaikan inflasi. Pertama, memastikan permodalan memadai di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini.
Kedua, menahan diri dari strategi pemasaran yang terlalu agresif dengan menawarkan premi yang terlalu rendah sehingga tidak kompatibel dengan manfaat yang ditawarkan dan risiko yang dijamin.
"Kadang-kadang menikmati premi yang diterima sekarang padahal risikonya itu lebih dari setahun, multi-years, ya enak di depan tetapi risikonya tidak diperhitungkan," kata Ogi.
Ketiga adalah perusahaan asuransi senantiasa diminta untuk menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent) dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatan investasi mengingat ancaman inflasi dan dinamika perekonomian global dapat menimbulkan downside risk bagi kinerja investasi perusahaan.
"Dengan demikian rasio likuiditas dan solvabilitas perusahaan tetap dapat terjaga sebagai indikator yang menggambarkan kapasitas perusahaan untuk memenuhi kewajiban pembayaran klaim asuransi pada konsumen," tutur Ogi.