Bisnis.com, JAKARTA — Kedalaman sektor keuangan di Indonesia masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negeri jiran, Malaysia dan Singapura, terutama pada sektor asuransi serta dana pensiun (dapen).
Berdasarkan data yang dihimpun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penetrasi aset industri asuransi Indonesia per akhir 2023 baru mencapai 5,32% dibandingkan dengan pendapatan domestik bruto (PDB) setara US$1,371 miliar.
Angka tersebut jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Singapura sebesar 52,3% dan Malaysia 53%. Bahkan, bila dibandingkan dengan Thailand dan Filipina masing-masing 9,7% dan 23,72%, RI pun masih berada di belakangnya.
Industri dana pensiun (dapen) pun tidak beda jauh dengan asuransi, penetrasi aset terhadap PDP per akhir 2023 hanya sebesar 6,73%. Adapun bila dibandingkan dengan Singapura (83,73%) dan Malaysia (61,2%), RI makin jauh ketinggalan. Indonesia hanya lebih unggul daripada Filipina 3,51% dan beda tipis dengan Thailand sebesar 6,89%.
Secara penghimpunan premi, penetrasi terhadap PDB Indonesia (2,59%) berada di atas Mexico (2,5%) dan Argentina (2,2%). Adapun Malaysia (4,8%) dan Singapura (11,4%) berada di aats RI. Teratas di dunia adalah Luxemburg (38%) dan Afrika Selatan (12,4%).
Baca Juga
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiuan/Anggota Dewan Komisioner OJK Ogi Prastomiyono menyampaikan krisis keuangan pada 1997/1998 memicu reformasi besar-besaran di Indonesia.
Namun, reformasi itu sebagian ebsar fokus pada sektor perbankan yang kemudian diperluas ke pasar modal. “Alokasi sumber daya untuk reformasi sektor keuangan dan pasar modal sangat jauh dibandingkan dengan sektor asuransi, penjaminan atau dana pensiun. Bahkan dapat dikatakan relatif terabaikan,” ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Selasa (8/10/2024).
Dia mencontohkan, jika melihat penetrasi dan densitas sektor asuransi dalam 1-2 dekade terakhir cenderung stagnan dan tertinggal dibandingkan dengan negara kawasan.
Selain itu, sambungnya, beberapa permasalahan yang mengemuka di sektor keuangan nonbank ini menambah daftar panjang masalah kepercayaan publik ke sektor ini.
Penetrasi industri asuransi justru merosot dalam setiap tahunnnya. Bila dibandingkan dengan sebelum Covid-19 mencapai 2,95% (2019), pada 2023 menjadi 2,59%. Bahkan, saat Covid-19 sempat mencapai titik tertinggi 3,11%.
Menurut Ogi, ada sejumlah tantangan yang masih dihadapi seperti dari sisi kosumen masalah literasi dan inklusi yang masih rendah. “Masih ada berbagai pengaduan dan kasus di sektor PPDP, termasuk gugatan dan kasus hukum di ini yang menggerus tingkat kepercayaan masyarakat. Selain itu kompleksitas produk sering kali sulit dipahami oleh masyarakat,” terangnya.
OJK tengah melakukan transformasi di sektor perasuransian, penjaminan dan dana pensiun (PPDP) untuk semakin meningkatkan kontribusi sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada industri ini.
"Transformasi dan reformasi di bidang PPDP telah, sedang, dan akan terus dilakukan OJK baik pada sisi pengaturan, pengembangan, perizinan dan pengawasan bidang PPDP. Transformasi dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan konsumen, kepentingan industri dan juga perspektif makro ekonomi untuk memberikan kontribusi terhadap negara,” kata Ogi.
Sebagai bagian dari transformasi ini, OJK sudah merilis 10 Peraturan OJK (POJK) di bidang PPDK dan rencana 10 POJK pada 2024 termasuk sejumlah SEOJK untuk penjelasan ketentuan teknis. Selain itu, pada 2025 OJK sudah memetakan penerbitan POJK yang mendukung transformasi di sektor PPDP.