Bisnis.com, JAKARTA - Pekan lalu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan bahwa sebanyak 26 bank umum belum memenuhi ketentuan modal inti Rp3 triliun. Tenggat bagi bank umum tersebut sangat mepet atau tersisa 4 bulan lagi untuk memenuhi ketentuan modal inti.
Peraturan OJK 12/2020 tentang konsolidasi bank umum mewajibkan perbankan memiliki modal inti Rp1 triliun pada 2020. Jumlah modal inti itu kemudian naik menjadi Rp2 triliun pada 2021 dan Rp3 triliun pada akhir 2022. Artinya, tersisa 4 bulan lagi bagi sejumlah bank untuk memenuhi tenggat tersebut.
Pengamat Ekonomi Perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto mengatakan bisnis bank merupakan bisnis padat modal. Skala ekonomi hanya dapat dicapai jika bank memiliki modal besar agar bisa memberikan produk secara murah dan bersaing.
Modal besar bank juga dibutuhkan untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara. Dampak penutupan bank akan memberi efek domino yang besar.
Doddy pun mengapresiasi langkah pemerintah yang mendorong bank untuk meningkatkan modalnya minimum mencapai Rp3 triliun hingga akhir 2022. Hanya saja, kata Doddy, yang menjadi tantangan adalah kebijakan tersebut dirilis pada 2020.
Pada 2020–2021 Indonesia dihantam oleh pandemi Covid-19 yang tinggi, yang membuat perekonomian melambat. Bagi sejumlah bank, menurutnya, bisa bertahan dalam kondisi tersebut saja sudah bagus. Yang terjadi adalah bank-bank didorong tidak hanya bertahan, juga dapat meningkatkan modal inti mereka hingga Rp3 triliun.
Baca Juga
“Itu berat bagi sejumlah bank. Saya tidak tahu apakah mereka didorong untuk merger atau menikah paksa? tetapi untuk merger 3-4 bank kan tidak bisa secepat itu,” kata Doddy.
Doddy menjelaskan bagi bank yang sudah memiliki modal inti di atas Rp1,5 triliun, maka merger dapat dilakukan oleh 1-2 bank saja. Namun bagi bank yang memiliki modal inti di bawah Rp1,5 triliun harus merger dengan 2-3 bank untuk memenuhi ketentuan modal inti minimum.
Merger itu sendiri pun, menurutnya tidak mudah karena perlu dilakukan banyak kajian, termasuk kesamaan misi, budaya, model bisnis dan lain sebagainya.
Doddy juga menduga 26 bank yang belum memenuhi modal inti, yang menjadi catatan OJK, bukanlah bank yang modal intinya kurang dari Rp100-200 miliar lagi. Namun lebih besar dari itu.
“26 Bank ini mungkin bukan yang istilahnya tinggal Rp100 miliar lagi [untuk pemenuhan modal inti], ini mungkin yang masih cukup jauh. Artinya harus kerja keras atau merger,” kata Doddy.
Dia menuturkan meski kebijakan ini sudah dirilis sejak tahun lalu, OJK perlu mengkaji untuk memberi kelonggaran kepada bank-bank yang belum memenuhi modal inti.
Kelonggaran tersebut berupa perpanjangan waktu sekitar 1-2 tahun dan dilakukan dengan disiplin. Artinya setelah perpanjangan tersebut tidak ada kelonggaran kepada bank-bank tersebut.
Jika mereka tidak dapat memenuhi modal inti, maka harus tutup atau berubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
“Pada 2020 itu pandemi. Bukan waktu normal. Saat itu bank mode survival bukan bisnis. Cuma untuk bertahan hidup, tidak terpikir merger. 2021 sudah bisa bergerak namun masih harus dipantau. Dan sekarang 2022 mereka baru bisa bernapas setelah pandemi,” kata Doddy.
Alternatif lainnya, pada 4 bulan sisa, 26 bank tersebut harus sudah memiliki pinangan atau sudah menggandeng investor strategis. Jika dipaksakan untuk memenuhi modal inti Rp3 triliun tahun ini, menurutnya berat.
Dia mengatakan kebijakan perpanjangan waktu pemenuhan modal inti bukanlah warisan OJK periode 2022-2027, karena ketentuan pemenuhan modal pada 2022 adalah produk OJK sebelumnya.
“Jadi katakan pada 2024 bank itu kalau tidak merger, atau memperoleh investor strategis yang siap investasi hingga modal inti menjadi Rp3 triliun atau mereka turun jadi BPR,” kata Doddy.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah berpendapat bank-bank umum non BPD seharusnya menyiapkan langkah untuk memenuhi modal inti sejak lama, mengingat kebijakan tersebut dikeluarkan pada 2020.
Untuk menempuh langkah merger dan akuisisi di 4 bulan sisi 2022, menurutnya, merupakan hal yang mustahil. Merger dan akuisisi hanya bisa dilakukan kalau sudah direncanakan sejak tahun lalu karena prosesnya lama.
Demikian juga untuk melakukan IPO atau rights issue. Seharusnya sudah direncanakan sejak tahun lalu, sehingga eksekusi bisa dilakukan dalam beberapa bulan ke depan.
“Kalau sampai dengan batas waktunya tidak bisa memenuhi, OJK sudah mengatakan mereka tidak akan memberikan kelonggaran. Izin bank umum bisa dicabut, dan bank yang bersangkutan bisa turun menjadi BPR,” kata Piter.
Saat ini bank-bank umum terus berusaha untuk memenuhi ketentuan modal inti minimum Rp3 triliun.
PT Bank Raya Indonesia Tbk. (AGRO) berencana untuk menerbitkan sebanyak-banyaknya 3,5 miliar saham dengan nilai nominal Rp100 per saham yang akan ditawarkan melalui PMHMETD atau 15,39 persen dari modal ditempatkan dan disetor penuh perseroan pada 31 Juli 2022.
Dana tunai yang diperoleh Perseroan dalam PMHMETD, akan digunakan untuk memperkuat permodalan Perseroan yang dapat digunakan sebagai ekspansi modal kerja dalam penyaluran kredit sehingga diharapkan akan berkontribusi positif terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Tidak hanya itu, Bank Raya berharap penguatan struktur permodalan ini dapat mendukung kegiatan usaha Perseroan ke depan, yang pada akhirnya akan menciptakan value bagi pemegang saham dan para pemangku kepentingan serta untuk pemenuhan kewajiban modal inti minimum berdasarkan POJK No. 12/2020.
PT Bank Maspion Indonesia Tbk. (BMAS) berencana menerbitkan 4,18 miliar saham baru atau sebanyak-banyaknya 48,45 persen dari modal disetor. Jadwal sementara rights issue Bank Maspion dilakukan pada 10 Oktober 2022.
PT Bank Neo Commerce Tbk. (BBYB) berencana menerbitkan 942.168.184 lembar saham atau 10 persen dari modal ditempatkan dan disetor. Perusahaan belum menentukan harga pelaksanaan.
Selain bank yang telah disebutkan, terdapat beberapa bank lagi yang tengah berupaya untuk memenuhi ketentuan modal inti Rp3 triliun.