Bisnis.com, JAKARTA - Para pemain industri pembiayaan (multifinance/leasing) berharap kenaikan harga BBM tak lantas membawa gejolak bagi perekonomian nasional, sehingga turut berimbas terhadap kemampuan bayar cicilan para debitur.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno melihat gejolak kondisi perekonomian berpeluang mendongkrak rasio non-performing financing (NPF) para pemain.
Sebagai gambaran, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juli 2022, NPF industri pembiayaan masih melanjutkan tren perbaikan ke level 2,72 persen, turun ketimbang Juni 2022 di level 2,8 persen dan jauh lebih baik ketimbang akhir tahun lalu di level 3,53 persen.
"Terkait debitur yang ada sekarang, kenaikan harga BBM mungkin akan berdampak terhadap kemampuan mereka membayar cicilan. Kalau itu terjadi, perusahaan memang harus bersiap kalau-kalau ada yang minta restrukturisasi lagi," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (7/9/2022).
Suwandi menjelaskan bahwa kenaikan harga BBM bukan yang pertama kali dirasakan para pemain. Kebijakan terkait restrukturisasi pun merupakan hal biasa sesuai kebijakan masing-masing perusahaan.
Namun, harapannya aktivitas perekonomian masih berjalan lancar, sehingga tidak perlu ada lagi debitur restrukturisasi baru, melainkan hanya melanjutkan debitur restrukturisasi eksisting yang sebelumnya merupakan pada debitur yang bergiat di sektor-sektor rentan terdampak pandemi Covid-19.
Baca Juga
"Terkait perpanjangan stimulus terkait restrukturisasi, kami masih tunggu bagaimana kebijakan buat sektor perbankan. Kalau industri pembiayaan sendiri masih mempertimbangkan apakah benar-benar diperlukan para pemain atau tidak," tambahnya.
Sebagai informasi, stimulus dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait restrukturisasi pembiayaan merupakan bagian dari kebijakan countercyclical dampak pandemi Covid-19 dari OJK kepada sektor Industri Keuangan Non-Bank (IKNB).
Stimulus yang akan berakhir pada April 2023 ini memberikan angin segar buat para multifinance, karena memungkinkan para debitur terdampak Covid-19 tidak terhitung sebagai NPF, sehingga porsi beban pencadangan pun lebih ringan ketimbang seharusnya.
Suwandi masih optimistis restrukturisasi akan berakhir mulus, sebab saat ini tinggal 3-5 persen dari total debitur restrukturisasi yang masih aktif. Sebelumnya, pada masa puncak pandemi lalu, outstanding restrukturisasi sempat mencapai Rp200 triliun lebih atau hampir separuh dari total outstanding pembiayaan industri.
Direktur Utama PT Clipan Finance Indonesia Tbk (CFIN) Harjanto Tjitohardjojo optimistis bahwa apabila tingkat inflasi terbilang normal, seharusnya tidak terjadi lonjakan NPF dan permintaan restrukturisasi baru.
"Apakah restrukturisasi debitur perlu ada perpanjangan atau tidak, kami masih akan lihat evaluasi 3 bulan ke depan, karena signifikansi dampak kenaikan harga BBM pun baru terlihat setelah itu. Sementara itu, kalau inflasi masih terkendali, harusnya tidak terjadi lonjakan NPF," ujarnya kepada Bisnis.
Adapun, Direktur Sales & Distribusi PT Mandiri Tunas Finance (MTF) William Francis mengungkap hal serupa, di mana pemulihan kondisi perekonomian setahun belakangan sebenarnya telah mampu membangkitkan kondisi keuangan para debitur restrukturisasi.
"Kami ikut dengan kebijakan pemerintah dan regulator. Tapi kalau dari data kami, sebagian besar nasabah memang sudah tidak membutuhkan restrukturisasi. Selain itu, Indonesia pun telah beberapa kali mengalami masa kenaikan harga BBM, dan kami menilai saat ini para debitur cenderung sudah siap," ungkapnya kepada Bisnis.