Bisnis.com, JAKARTA – PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BNI (BBNI) menyatakan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75 persen tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja perseroan.
Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini menyampaikan bank pelat merah bersandi saham BBNI itu telah melakukan stress test terkait kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia.
“Kami sudah evaluasi dampak kenaikan suku bunga tersebut tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja kami,” jelas Novita di acara Public Expose Live 2022 yang diselenggarakan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) secara virtual, Selasa (13/9/2022).
Di samping itu, BNI juga memantau fungsi intermediasi dari sisi kondisi likuiditas.
Dia menekankan bahwa saat ini, BNI memiliki likuiditas yang cukup ample dan tidak terlalu terpengaruh dengan kenaikan suku bunga.
Kendati demikian, Novita menyampaikan dari sisi biaya dana atau cost of fund terlihat adanya implikasi dari kenaikan suku bunga acuan menjadi 3,75 persen.
Baca Juga
Adapun, cost of fund yang dimiliki BNI terjaga di level 1,4 persen di posisi Juni 2022.
“Kami melihat dengan kenaikan suku bunga ini akan ada potensi kenaikan cost of fund,” tambahnya.
Kemudian dari sisi interest income, Novita menyampaikan BNI tidak serta-merta akan menyesuaikan suku bunga kepada debitur-debitur.
Artinya, BNI terlebih dahulu melihat profil risiko dari masing-masing debitur.
Lanjut Novita, debitur-debitur BNI yang sesuai strategi jangka panjang memiliki risiko yang rendah, pihaknya tidak akan serta-merta untuk menaikkan suku bunga.
“Sebagai kompensasinya, kami akan meningkatkan kapabilitas digital kami, sehingga debitur-debitur tersebut mampu bertransaksi dengan BNI 100 persen, sehingga tentunya ini akan mendatangkan fee based untuk BNI,” tuturnya.
Novita menyatakan bahwa BNI sudah mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan BI.
Untuk itu, dia optimistis kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps tidak akan memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja BNI secara keseluruhan.
“Pada suku bunga ini kita selalu pantau secara harian kondisi likuiditas, so far kami juga sudah antisipasi,” tekannya.
BERAKHIRNYA MASA RESTRUKTURISASI
Selain itu, berakhirnya masa relaksasi kredit restrukturisasi terdampak Covid-19 pada 31 Maret 2023 juga telah BNI antisipasi dengan memupuk rasio pencadangan (coverage) secara bertahap.
“Coverage kami secara bertahap mengalami pertumbuhan yang mencapai sampai dengan posisi Juni sekitar 260 persen dan dengan LaR coverage sekitar 42 persen,” ujarnya.
Novita melihat secara coverage, hal ini sudah mampu mengantisipasi apabila relaksasi kredit restrukturisasi Covid-19 akan dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Di samping itu, BNI juga tidak melihat adanya potensi yang berlebihan atau pemburukan yang signifikan atas dicabutnya relaksasi tersebut. Alhasil, perseroan melihat bahwa secara pembentukan pencadangan sudah mencapai level yang aman.
Sementara itu, terkait dengan biaya pembentukan biaya cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), Novita menyampaikan bahwa rasio cost of credit untuk posisi Juni 2022 berada di level 1,9 persen.
Adapun, BNI menargetkan rasio tersebut akan menurun secara signifikan menjadi 1 persen pada 2025.