Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Batara M. Simatupang

Dosen MM STIE Indonesia Banking School

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: RUU P2SK dan Transaksi Keuangan

UU OJK tidak menyatakan secara eksplisit mengenai LTK yang diselengggaran oleh entitas bisnis penyelenggara pos sebagai bagian dari Institusi Keuangan Non-Bank
Pos Indonesia
Pos Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA - Istilah Layanan Transaksi Keuangan awalnya muncul pada Undang Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos. Kemudian terbit UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tahun 2011 yang tupoksinya mengatur, mengawasi dan melindungi: perbankan, bursa efek dan perangkat Institusi lainnya, IKNB (Institusi Keuangan Non-Bank), dan nasabah.

Selanjutnya diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran yang ditindaklanjuti dalam Permen Kominfo No. 4 Tahun 2021 tentang Layanan Transaksi Keuangan (LTK). LTK terdiri dari wesel pos (remittance), giro, transfer dana dan tabungan pos di mana pelaksanaan LTK ini dinyatakan dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pos secara mandiri. Artinya LTK dapat diselenggarakan oleh institusi penyelenggara pos yang memenuhi persyaratan.

Namun, khusus untuk transfer dana harus memperoleh izin dari Bank Indonesia. Di sisi lain, tabungan pos dalam bentuk giro pos dan tabungan pos belum dijalankan oleh penyelenggara pos secara mandiri—Layanan ini dapat juga dikerjasamakan dengan Institusi Perbankan. PP 46 juga menegaskan bahwa LTK ini di bawah Pengawasan Menteri Kominfo yang berkoordinasi dengan OJK.

TUMPANG TINDIH

Dari PP 46 dapat ditegaskan bahwa entitas bisnis penyelenggara pos dapat melaksanakan LTK dengan menghimpun DPK (Dana Pihak Ketiga), dan Pengawasan atas tabungan pos diawasi oleh Menteri Kominfo dan berkoordinasi dengan OJK.

Sayangnya, UU OJK tidak menyatakan secara eksplisit mengenai LTK yang diselengggaran oleh entitas bisnis penyelenggara pos sebagai bagian dari Institusi Keuangan Non-Bank (IKNB). Sehingga rujukan PP 46 terhadap UU OJK seolah tidak terkait. Akibatnya, konon OJK enggan berperan aktif dalam pengawasan pengumpulan DPK yang dikelola entitas bisnis penyelanggara pos, apalagi, hingga sekarang tidak ada kejelasan penjaminan atas tabungan pos, karena LPS diamanatkan hanya memberi penjaminan terhadap simpanan nasabah perbankan saja.

Kalau kita merujuk pada UU OJK, maka menurut Pasal 1 ayat 4 dinyatakan bahwa “Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya”.

Pengertian dari Lembaga Jasa Keuangan Lainnya dapat diartikulasikan sebagai pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Selanjutnya, dalam Penjelasan UU OJK, dinyatakan bahwa penjelasan Pasal 8 Huruf b adalah “Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan” adalah peraturan perundang-undangan mengenai Lembaga Jasa Keuangan dan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa Keuangan”.

Dengan adanya penjelasan UU ini secara eksplisit menyatakan, bahwa tupoksi OJK, seyogianya memasukkan entitas bisnis penyelenggara pos ke dalam payung hukum OJK. Untuk menguatkan ini, mari kita bandingkan dengan kegiatan fintech yang sebelumnya tidak ada regulasi dan dasar undang-undangnya, sekarang berada di bawah payung otoritas OJK, bukankah pasal pamungkasnya ada pada Penjelasan Pasal 8 huruf b?

Demikian juga dengan Bank Indonesia (BI) secara luas bertanggungjawab sebagai penyelenggara sistem pembayaran, yang artinya termasuk LTK yang diselenggarakan oleh penyelenggara pos, sehingga masuk dalam jejaring sistem pembayaran BI. Penyelenggara pos dapat menyelenggarakan penghimpunan DPK secara independen dalam bentuk tabungan dan giro, sedangkan untuk transfer dana termasuk penggunaan QRIS dan BI-Fast masuk dalam jejaring BI. Oleh karenanya, penyelenggara pos harus didorong mendapat izin dari BI sebagai bagian penyelenggara sistem pembayaran secara mandiri yang dikelola BI.

Secara faktual, layanan internasional remittance yang dilakukan oleh penyelenggara pos, tidak termasuk dalam jejaring infrastruktur BI, sedangkan untuk wesel lokal masih bekerja sama dengan pihak ketiga untuk pengiriman antarbank.

IMPLIKASI RUU P2SK

Dengan diputuskannya Rancangan Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 pada 20 September 2022, maka menjadikannya sebagai pintu masuk atau kesempatan LTK disatukan ke dalam RUU P2SK, sehingga UU BI, OJK, LPS dan UU Perbankan yang sebelumnya dipandang sektoral menjadi UU Keuangan yang cakupannya lebih luas lagi.

Beberapa implikasi perluasan RUU P2SK dalam hal LTK, agar mempertimbangkan: (1) memasukkan LTK penyelenggara pos sebagai bagian dari pengaturan dan pengawasan OJK bersama Kominfo; (2) Khusus untuk sistem pembayaran, QRIS dan remintance menyertakan penyelenggara pos dalam jejaring infrastuktur BI sesuai dengan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025; dan (3) Memasukkan penjaminan tabungan pos dan giro pos dalam bagian layanan penjaminan LPS.

Dengan demikian, akan terjadi penyempurnaan BSPI 2025 oleh BI, agar interface pembayaran yang terintegrasi (IPT) dalam konfigurasi ekonomi dan keuangan digital dapat terwujud. Demikian juga dalam hal penjaminan tabungan pos oleh LPS akan memperkuat fungsi penyelenggara pos sebagai ujung tombak dalam finansial inklusi yang dikelola secara mandiri oleh penyelenggara pos.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper