Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menilik Peran TPAKD dan Kepala Daerah Bagi Kenaikan Inklusi Keuangan di Pelosok Negeri

Capaian angka inklusi keuangan 85% berkat disrupsi teknologi, maisifnya layanan keuangan serba online, dan pemangku berbasis di kota kecil dan pedesaan
(Kiri ke kanan) Direktur Pengembangan Inklusi Keuangan OJK Edwin Nurhadi, Ketua FinExpo 2022 Wani Sabu, dan Wakil Ketua FinExpo 2022 Arjanto dalam acara Pembukaan Financial Expo (FinExpo) 2022 di Central Park Mall, Jakarta Barat, Rabu (26/10/2022)./Bisnis – Rika Anggraeni
(Kiri ke kanan) Direktur Pengembangan Inklusi Keuangan OJK Edwin Nurhadi, Ketua FinExpo 2022 Wani Sabu, dan Wakil Ketua FinExpo 2022 Arjanto dalam acara Pembukaan Financial Expo (FinExpo) 2022 di Central Park Mall, Jakarta Barat, Rabu (26/10/2022)./Bisnis – Rika Anggraeni

Bisnis.com, JAKARTA - Kabar gembira terkait hasil survei inklusi keuangan 2022 yang mencapai 85%, bukan hanya berkat disrupsi teknologi dan masifnya kemunculan layanan keuangan 'serba online' di Tanah Air. Namun juga jasa besar dari segenap pemangku kepentingan yang berbasis di kota kecil dan pedesaan.

Seperti diketahui, berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), inklusi keuangan saat ini mencapai 85,1 persen, sedikit lagi menyentuh target inklusi keuangan nasional sebesar 90 persen pada 2024. Capaian itu meningkat signifikan ketimbang hasil SNLIK OJK di tahun-tahun sebelumnya, di mana pada 2016 hanya 67,8 persen dan menjadi 76,19 persen pada 2019.

Peneliti Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Tuti Ermawati melihat pengaruh digitalisasi buat keuangan inklusif memang nyata dan terbilang signifikan. Namun, belum tentu relevan untuk seluruh kalangan masyarakat. 

Sebagai contoh, perlu pendekatan khusus untuk menghadirkan akses keuangan kepada segmen masyarakat ekonomi menengah ke bawah, kalangan usia lanjut, wanita, UMKM, pekerja sektor informal, dan penduduk di kawasan pelosok. Inilah salah satu peran penting Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD). 

"Sekarang ini hampir semua daerah punya TPKAD dan perlu diakui program-program yang diusung itu seperti sebuah jembatan bagi suatu lembaga keuangan untuk masuk lebih dalam melayani segmen-segmen masyarakat tertentu, yang mungkin sebelumnya mereka itu tidak bisa sentuh secara organik," ujar Tuti ketika dihubungi Bisnis, Rabu (2/11/2022). 

Sekadar informasi, berdasarkan publikasi OJK terkait Roadmap TPAKD 2021-2025, TPAKD lahir sebagai forum koordinasi bagi lembaga pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk mempercepat akses keuangan di daerah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi regional dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat.

Adapun, sejarah TPKAD berawal dari hasil pertemuan Presiden RI dengan perwakilan industri jasa keuangan yang dihadiri oleh OJK dan pimpinan lembaga tinggi dan para menteri, Bank Indonesia, termasuk seluruh kepala daerah pada 15 Januari 2016 di Istana Negara. 

Setelahnya, mulai bermunculan TPAKD tingkat provinsi, kota, dan kabupaten, dengan program-program seperti penyediaan akses pembukaan akun tabungan, kemudahan akses pinjaman untuk menghalau aktivitas rentenir, sampai kredit kepada pelaku UMKM yang sesuai dengan potensi ekonomi daerah bersangkutan. 

"Terkadang program TPAKD itu terlihat sederhana bagi orang kota atau kalangan berpendidikan tinggi. Perlu diingat, sebelum inklusi keuangan itu ada literasi, dan bagi kalangan tertentu, literasi tentang relevansi produk jasa keuangan terhadap kehidupan mereka itu yang hanya bisa dibangun lewat upaya jemput bola melalui program-program itu," tambah Tuti. 

Oleh sebab itu, wanita yang aktif melakukan penelitian soal lembaga keuangan mikro ini juga melihat bahwa kejelian seorang kepala daerah juga berperan penting terhadap inklusi keuangan di suatu wilayah.

Sebab, terkadang tidak semua lembaga keuangan mau dan mampu untuk mengakomodasi kebutuhan spesifik suatu kalangan masyarakat tertentu. Oleh sebab itu, kepala daerah juga harus punya racikan strategi khusus dalam mensukseskan program-program keuangan inklusif. 

"Intinya bagaimana menghadirkan banyak pilihan terkait layanan keuangan yang relevan. Kalau daerah itu jeli, maka bukan hanya bank umum dan BPD saja yang ikut berkembang, namun juga lembaga keuangan asli dari wilayah tersebut. Seperti BPR, LKM, koperasi, sampai bank wakaf mikro, itu sebenarnya juga bisa diberdayakan," ungkap Tuti. 

Barangkali hal ini pula yang membuat OJK semakin rajin mendorong kehadiran TPKAD di berbagai wilayah Indonesia beberapa waktu belakangan. Saat ini, berdasarkan laman resmi OJK, jumlah TPAKD di seluruh Indonesia per November 2022 telah mencapai 451 TPAKD di 417 kabupaten/kota dan 34 provinsi. 

Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Friderica Widyasari Dewi berharap seluruh daerah di Indonesia mulai terbuka untuk mempercepat program TPAKD yang relevan bagi masyarakat di wilayahnya. 

Wanita yang akrab disapa Kiki ini menekankan bahwa OJK bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha jasa keuangan ke depan akan terus meningkatkan kolaborasi dalam perluasan akses keuangan di daerah melalui program TPAKD dalam mendukung percepatan pemulihan ekonomi nasional.

"Seluruh kepala daerah kalau bicara soal TPAKD itu pasti menyambut baik. Kenapa? Karena upaya-upaya ini pada akhirnya juga buat masyarakat. Setiap daerah itu unik, misalnya apakah daerah dengan banyak nelayan atau buruh tani, tentu programnya akan berbeda. Jadi OJK itu seperti fasilitator saja untuk mendorong dan mempertemukan setiap pemangku kepentingan," ujarnya dalam diskusi terbatas bersama media beberapa waktu lalu. 

Bisnis pun berkesempatan mengunjungi salah satu realisasi program TPAKD di Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya Kelurahan Patehan Kemantren Kraton Yogyakarta bersama OJK. 

Program unggulan TPAKD wilayah ini bertajuk Kredit Pemberdayaan Ekonomi Daerah (Pede) dari BPD DIY, menyasar pelaku UMKM berbasis Generic Model Skema Kredit Pembiayaan Melawan Rentenir Skema 3 (GM K/PMR), yaitu penyediaan kredit atau pembiayaan yang cepat dan murah.

Akses kredit ini hanya memiliki bunga 3 persen per tahun, dengan plafon sekitar Rp2 juta tanpa agunan, hanya dengan surat keterangan usaha, sampai maksimal plafon Rp55 juta dengan agunan tambahan. 

Alhasil, UMKM di sekitar wilayah Gunungkidul, Kulonprogo, dan Bantul tidak perlu lagi mengandalkan akses pinjaman dari rentenir atau akrab disebut 'bank titil', yang notabene berbiaya mahal dan kerap menjebak masyarakat sampai terlilit utang karena praktik bunga-berbunga. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Aziz Rahardyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper