Bisnis.com JAKARTA — Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) kembali menaikkan suku bunga secara agresif sesuai dengan perkiraan, sebesar 75 basis poin menjadi 3,75—4 persen.
Kenaikan suku bunga yang agresif tersebut menunjukkan komitmen The Fed untuk membawa inflasi kembali ke target 2 persen.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan bahwa total kenaikan suku bunga The Fed pada tahun ini telah mencapai 375 basis poin. The Fed pun menjelaskan bahwa akan membutuhkan waktu untuk merealisasikan dampak penuh dari pengetatan moneter tersebut, terutama pada inflasi.
Dalam menentukan laju kenaikan suku bunga ke depan, ;anjutnya, The Fed akan mempertimbangkan pengetatan kebijakan moneter secara kumulatif dan perlambatan yang mempengaruhi aktivitas ekonomi dan inflasi akibat kebijakan moneter.
Faisal menilai akan menjadi tepat bagi The Fed untuk memperlambat laju kenaikan suku bunga mengingat kenaikan tingkat suku bunga cukup membatasi penurunan inflasi ke sasaran 2 persen.
Dengan inflasi global yang masih tinggi, khususnya di kawasan Eropa dan AS, dia mengatakan normalisasi moneter global dengan menaikkan suku bunga acuan diperkirakan akan tetap agresif.
Baca Juga
“Kami melihat kenaikan suku bunga The Fed mungkin akan mencapai puncaknya pada semester I/2023,” katanya, Kamis (3/11/2022).
Faisal mengatakan tingkat suku bunga yang lebih tinggi dan bertahan lebih lama telah meningkatkan ketidakpastian di pasar keuangan global. Hal ini memicu capital outflow di pasar negara berkembang, termasuk pasar keuangan Indonesia, terutama di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Sementara itu, di dalam negeri, Faisal mengatakan inflasi tahunan masih akan berada di atas kisaran sasaran inflasi 2–4 persen dan diperkirakan tetap berada pada kisaran 5–6 persen hingga semester I/2023.
Dengan berbagai perkembangan tersebut, dia memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih berpotensi menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin di sisa akhir tahun ini.
“Karena inflasi cukup lama berada di atas kisaran target dan kami melihat tekanan yang lebih tinggi pada depresiasi rupiah, kami memutuskan untuk merevisi perkiraan BI7DRR kami menjadi 5,50 persen pada akhir 2022 dan menjadi 5,75 persen pada akhir 2023,” ujarnya.