Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kinerja Saham Bank Digital Boncos Sepanjang Tahun, Harga Kemahalan Biang Keroknya

Saham bank digital PT Bank Jago Tbk. (ARTO) hingga PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI) kompak ambles sepanjang tahun berjalan atau year-to-date (ytd).
Kinerja Saham Bank Digital Boncos Sepanjang Tahun, Harga Kemahalan Biang Keroknya. Ilustrasi bank digital. /Freepik
Kinerja Saham Bank Digital Boncos Sepanjang Tahun, Harga Kemahalan Biang Keroknya. Ilustrasi bank digital. /Freepik

Bisnis.com, JAKARTA – Saham bank digital PT Bank Jago Tbk. (ARTO) hingga PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI) kompak ambles sepanjang tahun berjalan atau year-to-date (ytd). Harga saham yang kemahalan dinilai menjadi penyebabnya.

Berdasarkan data dari RTI Business, harga saham ARTO pada penutupan perdagangan hari ini (21/12/2022) turun 77 persen secara ytd. Kemudian, harga saham BBHI turun 55,53 persen ytd.

Lalu, harga saham PT Bank Neo Commerce Tbk. (BBYB) mencatatkan penurunan 71,59 persen secara ytd. Harga saham PT Bank Raya Indonesia Tbk. (AGRO) juga turun 74,92 persen secara ytd.

Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani mengatakan jebloknya kinerja saham bank digital dalam setahun berjalan karena harganya yang terlalu mahal atau overvalued. Menurutnya, berdasarkan price to earning ratio (PER) dan price to book value (PBV), ada beberapa emiten bank digital saat ini yang mempunyai rasio di atas rasio rata-rata industri perbankan.

Dia membandingkan, rasio PBV dan PER ARTO serta BBHI saat ini berada di atas rasio PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA).

"Ini [PBV dan PER] menjadi tertinggi di industri perbankan," katanya kepada Bisnis pada Rabu (21/12/2022).

Berdasarkan data RTI Business, ARTO saat ini mempunyai nilai PER 942,58 kali dan PBV 6,15 kali. BBHI mempunyai PER 139,56 kali dan PBV 6,16 kali. Sementara itu, BBCA mempunyai PER 27,7 kali dan PBV 5,05 kali.

"Jadi menurut saya valuasi bank digital yang sangat tinggi dibandingkan rata-rata emiten di industri perbankan mengakibatkan tren penurunan harga secara ytd," kata Arjun.

Selain masalah harga yang terlalu mahal, bank digital juga belum menunjukkan kinerja yang meyakinkan. Alasannya adalah sebagian bank digital masih mencatatkan kerugian seperti BBYB.

Arjun menambahkan, proyeksi untuk tahun depan juga kurang positif selama emiten bank digital masih lumayan overvalued. "Jadi, masih ada potensi koreksi harga," ungkapnya.

Apalagi, bank digital dihadapkan pada masalah tren suku bunga acuan Bank Indonesia yang tinggi.

"Kalau suku bunga naik lagi, menurut saya ini menjadi tantangan untuk bank digital karena mereka juga perlu menaikan suku bunga deposito agar bisa bersaing dengan bank konvensional," ujarnya.

Sementara itu, dengan naiknya suku bunga deposito, bank digital harus meningkatkan beban pembayaran bunga. Ditambah lagi, bank digital harus menghadapi persaingan karena pertumbuhan jumlah bank digital baru diperkirakan masih terus berlanjut hingga tahun depan.

Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menuturkan euforia pertumbuhan jumlah bank digital masih akan berlangsung, apalagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja merilis aturan yang membolehkan bank berinvestasi maksimal 35 persen di fintech.

“Dalam kondisi ini bank digital masih akan bertambah. Masih ada beberapa bank yang mungkin berkolaborasi dengan fintech, kemudian berubah menjadi bank digital karena sudah ada dukungan regulasi,” ujarnya kepada Bisnis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper