Bisnis.com, JAKARTA - Layaknya darah dalam tubuh, keuangan berperan penting bagi lancarnya perputaran roda perekonomian. Ketika kurang darah, tubuh akan terasa lemah, letih, dan lesu. Sulit untuk beraktivitas normal. Begitu pula ketika sebuah negara tidak ditopang oleh sektor keuangan yang kuat, perekonomiannya akan sulit terakselerasi dan mencapai potensi terbaiknya.
Sektor keuangan Indonesia masih sangat dangkal dalam menyokong pembiayaan pembangunan. Hal ini tecermin dari rasio M2 terhadap PDB yang hanya sekitar 45% pada 2020. Angka ini di bawah negara-negara sebaya, seperti Vietnam (140%), Chili (94%), dan Filipina (90%). Tidak heran jika kebutuhan akan pembiayaan pembangunan mesti diisi oleh investasi asing karena memang terbatasnya ketersediaan dana di dalam negeri yang dapat disediakan oleh sektor keuangan nasional. Guna memperbaiki kondisi ini, agenda inklusi, literasi dan pendalaman keuangan mesti terus didorong.
Belum banyak studi yang mencoba mengukur kedalaman keuangan suatu negara. Sejauh ini, studi-studi berfokus pada bagaimana mengukur dan mendorong inklusi serta literasi keuangan. Inklusi keuangan adalah proses memastikan bahwa semua orang dan komunitas, terutama yang miskin dan terpinggirkan, memiliki akses ke layanan keuangan yang mereka butuhkan. Terdapat berbagai metodologi dalam mengukur angka inklusi keuangan. Di Indonesia, setidaknya ada tiga cara mengukur hal ini, yaitu versi Kemenko Perekonomian, OJK, dan Bank Dunia.
Ada dua ruang penelitian (research gaps) yang mesti diisi oleh studi berikutnya terkait isu ini. Pertama, indeks yang dilakukan sejauh ini hanya pada level nasional dan provinsi, sedangkan level kota/kabupaten, atau bahkan kecamatan masih belum ada. Padahal, indeks ini penting untuk menginformasikan para kepala daerah dan juga industri keuangan di wilayah masing-masing terkait di mana saja potensi peningkatan pemanfaatan keuangan dapat dilakukan. Kedua, literatur kebanyakan hanya menangkap angka inklusi keuangan, sedangkan indeks literasi dan kedalaman keuangan masih terbatas studinya. Studi dapat dilakukan dengan memadukan antara data sekunder (seperti podes, makro-regional, dll) dan juga data primer (survei ke masyarakat) sehingga indeks literasi dan kedalaman keuangan dapat dihitung dari level provinsi hingga kecamatan.
Hanya kurang dari 5% lagi, Indonesia akan memenuhi mimpi inklusi keuangannya. Capaian ini patut dibanggakan sebagai salah satu indikator kesuksesan Indonesia dalam memastikan bahwa 9 dari 10 masyarakatnya yang telah dewasa sudah pernah memanfaatkan layanan jasa keuangan formal.
Sebelumnya, banyak masyarakat kita yang masih enggan menggunakan layanan jasa keuangan formal karena berbagai alasan. Fenomena ini tentu merugikan, tidak hanya bagi perekonomian nasional tetapi juga bagi individu tersebut. Dari sisi kaca mata makroekonomi, makin banyaknya masyarakat yang terinklusi keuangan berarti akan meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keamanan sektor keuangan nasional.
KEDALAMAN KEUANGAN
Meskipun angka inklusi keuangan nasional sudah hampir 90%, kita tidak boleh berpuas diri. Setelah agenda inklusi rampung, kita masih perlu mendorong agenda literasi dan kedalaman keuangan. Yang dimaksud dengan literasi dan kedalaman keuangan di sini adalah bagaimana seseorang dapat paham berbagai produk dan jasa keuangan formal sehingga mereka dapat memanfaatkannya sesuai kebutuhan dan kemampuan masing-masing.
Jika konsep inklusi keuangan menekankan aspek “aksesibilitas”, kata kunci literasi dan kedalaman keuangan adalah “pemahaman” dan “pemanfaatan”. Saat ini, cukup banyak jasa dan produk keuangan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Mulai dari fasilitas paling dasar, seperti rekening tabungan atau kredit, hingga produk yang lebih kompleks seperti asuransi, dana pensiun, saham, obligasi, reksa dana, dll.
Konsep kedalaman keuangan lebih berfokus pada diversifikasi produk jasa dan layanan. Makin terdiversifikasi pemanfaatannya, makin besar pula kedalaman keuangan orang tersebut. Hal ini selaras dengan konsep dasar pengelolaan keuangan “Jangan letakkan telurmu dalam satu keranjang (don’t put your eggs in one basket)!”, agar meminimalisir risiko ketika “keranjang” tersebut jatuh maka kita masih memiliki cadangan keuangan untuk bertahan hidup. Diversifikasi dan kedalaman keuangan juga membantu masyarakat dalam mengoptimalkan imbal hasil yang diberikan oleh masing-masing produk keuangan, bergantung pada preferensi risiko (risk appetite) dan prioritas individu.
Kedalaman keuangan perorangan (sisi permintaan) juga perlu diimbangi oleh pengembangan dan kemajuan industri keuangan nasional (sisi supply). Sektor keuangan Indonesia masih terlalu didominasi (78%) oleh sektor perbankan, di sisi lain industri keuangan non-bank (IKNB) masih minim peranannya bagi perekonomian nasional. Pembangunan IKNB perlu didorong terus, guna meningkatkan diversifikasi produk dan layanan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan juga menjadi sumber tambahan pembiayaan pembangunan.
Sumber dana pembangunan di Indonesia relatif mahal (high cost of funds). Hal ini dikarenakan struktur pasar keuangan yang kurang kompetitif dan juga sumber dana yang terbatas. Berdasarkan realitas ini, kedalaman keuangan merupakan obat mujarab untuk mencegah dan menyembuhkan anemia perekonomian. Sebuah agenda penting yang mesti terus kita didorong guna mengoptimalkan peran dan kontribusi sektor keuangan terhadap pembangunan nasional.