Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sri Mulyani, Luhut, OJK Bicara Dampak Bangkrutnya Silicon Valley Bank ke RI

Simak pernyataan Menkeu Sri Mulyani, Menko Marvest Luhut Binsar, dan OJK soal dampak bangkrutnya Silicon Valley Bank ke Indonesia.
Logo Silicon Valley Bank (SVB). Source: Bloomberg.
Logo Silicon Valley Bank (SVB). Source: Bloomberg.

Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menko Kemaritiman dan investasi Luhut B. Pandjaitan, hingga Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae angkat bicara soal dampak bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) terhadap Indonesia. 

Silicon Valley Bank atau SVB runtuh setelah saham bank ini anjlok 66 persen dan gagal mendapatkan tambahan dana sebesar US$2,25 miliar dalam 48 jam.

Kejadian ini juga membuat SVB ditutup oleh otoritas berwenang di California, Amerika Serikat (AS), Jumat (10/3/2023).

Gejolak pada SVB dimulai sejak Rabu pekan lalu, saat bank ini mengumumkan kerugian besar dalam penjualan sekuritas.

Akibatnya, kekhawatiran muncul di antara perusahaan modal ventura, yang sebelumnya menyarankan perusahaan untuk menarik seluruh uang dari SVB.

“Penurunan ini disebabkan para deposan menarik uang mereka secara tiba-tiba dan cepat sehingga bank bangkrut dan penurunan interday tidak dapat dihindari akibat penarikan besar-besaran itu,” kata Chief Executive Officer (CEO) Better Markets Dennis M. Kelleher.

SVB sedikitnya memiliki total aset US$209 miliar atau sekitar Rp3.197,7 triliun (estimasi kurs Rp15.300 per dolar AS) dan total deposito sekitar US$175,4 miliar atau Rp2.683,62 triliun. Jumlah ini terhitung per 31 Desember 2022.

Dampak kolapsnya SVB juga membuat saham-saham di sektor keuangan global telah kehilangan nilai pasar sebesar US$465 miliar atau Rp7.153,56 triliun. 

Melansir Bloomberg, kapitalisasi pasar gabungan di MSCI World Financials Index dan MSCI Emerging Markets Financials Index tercatat turun sekitar Rp7.153,56 triliun dalam tiga hari terakhir hingga kemarin, Selasa (14/3/2023).

 

Bagaimana dampak bangkrutnya SVB ke Indonesia? Berikut pernyataan Sri Mulyani, Luhut, dan OJK.

 

1. Menkeu Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa SVB merupakan salah satu bank kecil di Amerika Serikat. Namun, keruntuhan bank itu telah memberikan dampak signifikan terhadap pasar keuangan AS. 

“Ini yang menggambarkan even bank kecil seperti SVB dalam ukuran AS yang jumlah asetnya bisa mencapai Rp1,3 kuadriliun atau US$ 200 miliar aset SVB bisa goyang seluruh kepercayaan sektor keuangan mereka,” katanya dalam konferensi pers APBN Kita, Selasa (14/3/2023). 

Sri Mulyani menyampaikan bahwa salah satu pemicu dari gagalnya SVB adalah kenaikan suku bunga bank sentral AS yang signifikan sejak tahun lalu untuk menurunkan laju inflasi. 

Berdasarkan data terakhir, inflasi di AS telah turun ke tingkat 6,4 persen.

Namun, posisi ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat suku bunga The Fed sebesar 4,74 persen. The Fed pun masih memberikan sinyal akan melanjutkan kebijakan suku bunga yang hawkish

“Sampai kemudian terjadi musibah penutupan SVB yang menimbulkan suatu kondisi krisis kepercayaan sehingga Federal Reserve dan Federal Deposit Insurance Corporation [FDIC] serta treasury harus turun tangan dengan menjamin seluruh depositnya,” tutur Sri Mulyani. 

Menurutnya, gagalnya SVB perlu menjadi perhatian global mengingat bank sentral dunia, utamanya negara maju masih akan bergerak agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.  

“Inflasi serta bagaimana policy rate akan menjadi faktor yang harus diperhatikan dan diperhitungkan untuk tidak menimbulkan suatu ekses atau dampak dari kebijakan moneter yang dilakukan negara maju,” pungkasnya.

 

2. Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan memastikan kolapsnya SVB tidak berdampak langsung pada perbankan dalam negeri.

“Sampai saat ini, kita tidak melihat ada tanda-tanda yang punya impak karena kelihatannya modal atau capital dari bank-bank kita juga bagus sekali,” kata Luhut, Selasa (14/3/2023).  

Berdasarkan data milik pemerintah, rasio kecukupan likuiditas atau liquidity coverage ratio (LCR) perbankan di Indonesia relatif tinggi jika dibandingkan sejumlah negara besar lainnya.

LCR perbankan di Indonesia tercatat berada di level 234 persen. Posisi ini terbilang tinggi jika dibandingkan dengan LCR di Amerika Serikat, Jepang, dan China yang masing-masing berada di level 148 persen, 135 persen, dan 132 persen. 

“Jadi, [LCR] Indonesia masih sangat tinggi sekali, tapi bicara krisis seperti ini kita tentu harus hati-hati,” kata Luhut. 

 

3. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan penutupan SVB diperkirakan tidak berdampak langsung terhadap perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, facility line maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB.  

Selain itu, berbeda dengan SVB dan perbankan di AS umumnya, bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan technology startups maupun kripto.   

“Oleh karena itu, OJK mengharapkan agar masyarakat dan Industri tidak terpengaruh terhadap berbagai spekulasi yang berkembang di kalangan masyarakat,” kata Dian.

Menurutnya, Indonesia setelah krisis keuangan 1998 telah melakukan langkah yang mendasar dalam rangka penguatan kelembagaan, infrastruktur hukum, dan penguatan tata kelola serta perlindungan nasabah yang telah menciptakan sistem perbankan yang kuat, resilien, dan stabil. 

“Tercermin dari kinerja industri perbankan yang terjaga baik dan solid serta tetap tumbuh positif di tengah tekanan perekonomian domestik dan global yang selama ini berlangsung,” ujarnya. 

Saat ini, kondisi perbankan Indonesia menunjukkan likuiditas yang baik, antara lain indikator likuiditas (AL/NCD dan AL/DPK) di atas threshold, yakni sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen, jauh diatas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen. 

Dia menambahkan aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi dana pihak ketiga yang didominasi oleh dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga. 

Selain itu, tegasnya, saat ini tidak ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori ‘bank dalam resolusi’ yaitu bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper