Bisnis.com, JAKARTA – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) hingga PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA) menganggap dampak kasus bangkrutnya bank besar asal Amerika Serikat (AS), yakni Silicon Valley Bank (SVB) kepada perbankan Indonesia tergolong minim.
Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto mengatakan BRI memprediksikan kasus bangkrutnya SVB dan beberapa bank lainya di AS akan memberikan dampak yang minimal terhadap industri perbankan nasional, utamanya terhadap BRI yang memiliki core business di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"Kondisi likuiditas BRI sendiri saat ini berada pada kondisi yang memadai," katanya kepada Bisnis pada Rabu (15/3/2023).
Adapun BRI mencatatkan loan to deposit ratio (LDR) sebesar 82,9 persen pada akhir Februari 2023.
Meski dampaknya dinilai minim, Aestika mengatakan kasus bangkrutnya bank-bank di AS menjadi pembelajaran bagi bank di Indonesia. "Beberapa hal yang dapat dijadikan pembelajaran adalah perlunya diversifikasi portofolio aset, manajemen likuiditas yang prudent, serta kepatuhan terhadap ketentuan regulator," ujar Aestika.
Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan kondisi fundamental perseroan juga masih dalam kondisi baik, sehingga dampak bangkrutnya SVB dan bank AS lain menjadi minim.
Baca Juga
"Posisi keuangan cimb niaga sangat kuat dengan permodalan serta likuditas yang bagus. Kami juga sangat ketat memonitor concentration risk di dalam likuiditas maupun instrumen lainnya yang dikelola bank," ujar Lani.
Direktur Utama PT Bank Ina Perdana Tbk. (BINA) Daniel Budirahayu juga mengatakan bangkrutnya bank-bank di AS tidak akan terlalu berdampak kepada perbankan di Indonesia. "Ini karena model bisnisnya berbeda. Likuiditas bank juga sejauh ini dalam kondisi yang bagus," ujarnya.
Sementara, pembelajaran yang bisa diambil perbankan dari kasus bangkrutnya SVB menurut Daniel adalah pengelolaan likuiditas dan concentration risk.
Sebagaimana diketahui, SVB dilaporkan bangkrut pada Jumat (10/3/2023) pagi waktu setempat usai gagal mengumpulkan dana tambahan sebesar US$2,25 miliar dalam 48 jam.
Bangkrutnya SVB terimbas kenaikan suku bunga secara agresif. Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan sejak tahun lalu untuk menekan lonjakan inflasi. Kenaikan suku bunga merupakan momok menakutkan bagi perusahaan rintisan.
Pemodal berpaling untuk menambah investasi di startup. Akibatnya, perusahaan menarik dananya di SVB untuk memenuhi likuiditas.
Bank yang didirikan pada 1983 itu memang memiliki spesialisasi pembiayaan ke startup berbasis teknologi. Portofolio separuhnya dialokasikan ke startup dan layanan kesehatan Amerika.
Sebelum bangkrutnya SVB, Silvergate Capital Corp., juga telah mengatakan akan melikuidasi banknya yang menyimpan dana kripto sebagai imbas dari kehancuran industri kripto.
Kepanikan di industri keuangan AS tidak berhenti di situ, sebab regulator bank AS kemudian mengumumkan penutupan Signature Bank pada Minggu (12/3/2023). Gelombang sinyal bank runs kemudian menjadi ancaman baru bagi perbankan AS.
“Para deposan menarik uang mereka secara tiba-tiba dan cepat sehingga bank bangkrut dan penurunan interday tidak dapat dihindari akibat penarikan besar-besaran itu,” kata Chief Executive Officer (CEO) Better Markets Dennis M. Kelleher.