Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menyatakan pemisahan Unit Usaha Syariah (UUS) atau spin-off di dalam industri asuransi syariah dapat meningkatkan kinerja perusahaan asuransi. Adapun, saat ini regulator tengah menyusun Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) terkait pemisahan asuransi syariah setelah terbitnya Omnibus Law Keuangan atau Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
Direktur Eksekutif AASI Erwin Noekman menilai bahwa pemisahan UUS asuransi syariah menjadi Badan Usaha Syariah (BUS) akan mengarah pada perbaikan kinerja perusahaan asuransi syariah itu sendiri.
“Perusahaan yang beroperasi secara penuh, tentunya akan lebih lentur terkait pengembangan produk, perencanaan bisnis, hingga market segmentation bila dibandingkan dengan yang masih berbentuk unit syariah,” kata Erwin kepada Bisnis, Senin (10/4/2023).
Dia menuturkan salah satu perusahaan asuransi syariah yang merupakan hasil spin-off telah berhasil membukukan laba yang meningkat signifikan.
“Bila dibandingkan sejak berdiri di tahun 2016 sampai dengan sekarang [kurang lebih 7 tahun] memperoleh pertumbuhan produksi dan juga laba yang meningkat signifikan,” ujarnya.
Untuk diketahui, kebijakan pemisahan (spin-off) unit usaha syariah asuransi tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), tepatnya pada Pasal 87 ayat (1).
Baca Juga
Pada beleid itu disebutkan bahwa dalam hal perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi memiliki unit syariah, setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh OJK, maka perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dimaksud wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi perusahaan asuransi syariah atau perusahaan reasuransi syariah.
Selanjutnya, pada ayat (3) dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan dan konsolidasi serta sanksi bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang tidak melakukan pemisahan unit syariah diatur dalam POJK setelah dikonsultasikan dengan DPR.
“POJK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 6 bulan terhitung sejak UU ini diundangkan,” jelasnya.