Bisnis.com, JAKARTA – Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti menyampaikan bahwa nilai tukar rupiah hingga awal Juli 2023 masih relatif terkendali meski cenderung mengalami pelemahan.
Destry mengatakan bahwa nilai tukar rupiah masih memiliki ruang apresiasi sejalan dengan kondisi eksternal Indonesia yang tetap kuat.
“BI masih melihat ruang apresiasi nilai tukar rupiah masih ada di tengah surplus transaksi berjalan dan masuknya modal asing seiring dengan prospek ekonomi Indonesia yang kuat,” katanya dalam rapat kerja bersama dengan Badan Anggaran, Senin (10/7/2023).
Di samping kondisi eksternal yang tetap terjaga, Destry mengatakan perkembangan inflasi di dalam negeri juga terkendali, serta didukung dengan imbal hasil aset keuangan domestik yang tetap menarik.
BI pun, imbuhnya, terus memperkuat kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah, khususnya melalui strategi triple intervention dan twist operation untuk mengendalikan inflasi barang impor dan memitigasi risiko rambatan pasar keuangan global.
Dalam hal ini, Destry menambahkan, BI akan terus melakukan tiga upaya. Pertama, melakukan intervensi di pasar valas dengan transaksi spot, domestic non deliverable forward (DNDF), dan pembelian SBN di pasar sekunder.
Baca Juga
Kedua, kebijakan twist operation akan dilakukan dengan penjualan SBN di pasar sekunder untuk tenor pendek. Hal ini diharapkan bisa meningkatkan daya tarik SBN sehingga tetap dapat mengundang masuknya investor di portofolio SBN.
Ketiga, mengoptimalkan instrumen operasi pasar valas devisa hasil ekspor, (DHE) yaitu term deposit (TD) valas DHE sebagai instrumen penempatan DHE oleh eksportir melalui bank kepada BI.
BI pun telah melakukan penambahan frekuensi dan tenor lelang TD valas jangka pendek pendek dengan suku bunga yang kompetitif.
Bisnis mencatat, rupiah pada Senin (10/7) ditutup melemah 0,41 persen ke Rp15.204 per dolar AS, sementara indeks dolar AS menguat 0,11 persen ke 102,38.
Destry mengatakan secara tahun berjalan (year-to-date/ytd) rupiah masih mencatatkan apresiasi sebesar 3,84 persen.
Tingkat apresiasi tersebut menurutnya bahkan lebih baik dibandingkan dengan apresiasi mata uang India dan Filipina, yang masing-masingnya sebesar 0,86 persen dan 0,72 persen, maupun mata uang Thailand yang terdepresiasi sebesar 1,9 persen.