Bisnis.com, JAKARTA — Puncak fenomena El Nino diprediksi akan berlangsung pada Oktober 2023. Hal itu berdampak terhadap sektor pertanian.
Fenomena tersebut disebut akan memicu cuaca panas ekstrem di Indonesia pada Agustus-Oktober 2023 dan akan berlanjut hingga awal 2024.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat ada sejumlah daerah yang akan terdampak cukup parah akibat adanya fenomena tersebut, di antaranya Sumatra bagian tengah hingga Selatan, Riau bagian Selatan, Jambi, Lampung, Banten, hingga Jawa Barat.
Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan dengan adanya El Nino yang cukup parah di daerah-daerah tersebut, selain diprediksi dapat membuat kekeringan, juga akan memicu gagal panen di sektor pertanian.
Lalu apakah fenomena El Nino juga akan berdampak pada asuransi pertanian?
Pengamat asuransi Tri Joko Santoso mengatakan fenomena El Nino dampaknya luas, bukan hanya industri dan asuransi pertanian saja. El nino merupakan bencana alam yang dampaknya luas, seperti kekeringan, banjir, gagal benih dan panen serta ketersediaan (kelangkaan) pangan jangka panjang.
Baca Juga
“Karena bencana alam seperti El Nino mungkin bisa masuk dalam klausa force majeur, yaitu di luar ketentuan polis asuransi, sehingga harus ditangani pemerintah di negara-negara yang tertimpa El Nino,” kata Tri kepada Bisnis, Kamis (10/2/2023).
Tri mengatakan untuk asuransi pertanian sendiri ada dua kemungkinan dampaknya akibat El Nino. Pertama apabila fenomena tersebut dianggap bencana alam yang bisa dikategorikan force majeur maka perusahaan asuransi pertanian tidak harus membayar klaim.
Sementara itu, apabila tidak dianggap force majeur maka perusahaan asuransi pertanian wajib membayar kerugian. “Untuk situasi kedua, biasanya perusahaan asuransi pertanian berkelompok untuk menangani kerugian yang timbul [system pool] sehingga kerugian setiap perusahaan lebih minimal,” kata Tri.
Adapun system pool juga bisa lintas negara sehingga ditangani oleh lebih banyak perusahaan asuransi pertanian. Selain itu, lanjut Tri, mereka juga dapat menetapkan maksimum kerugian yang bisa dicover, sisanya ditangani oleh pemegang polis.
Di sisi lain, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) melihat bahwa ada beberapa kemungkinan yang bisa dilihat akibat El Nino dan kemarau panjang.
Curah hujan di Indonesia diprediksi menurun akibat El Nino, maka potensi banjir menurun begitu juga klaim asuransi.
“Jadi satu risiko banjir di depan mata bisa lebih terukur. Biasanya beberapa wilayah kan kena banjir, dengan adanya penurunan curah hujan ini jadi kita bisa antisipasi, kejadian banjir bisa menurun,” kata Ketua AAUI Budi Herawan ditemui beberapa waktu lalu di MAIPARK Ballroom, Pusat Pengembangan SDM Asuransi, Jakarta Pusat.
Kendati demikian, dia juga tidak memungkiri bahwa sektor pertanian juga akan terkena apabila kekeringan. Di sini lah, dia mengingatkan pentingnya mitigasi risiko bagi industri asuransi untuk melihatnya sebagai risiko ketidakpastian (uncertainty).
Dia juga mengaku bahwa World Bank juga telah mengingatkan asoasiasi terkait risiko tersebut. Namun menurutnya asosiasi juga tidak berdiri sendiri. Dia menyinggung soal inklusi asuransi pertanian memang masih rendah di Indonedia.
“Seharusnya ada koordinasi yang serius antara pemerintah dan pemangku kepentingan, salah satunya asosiasi asuransi dan anggota,” katanya.
Selain itu, asuransi tanaman berbasis index yang diinisiasi asosiasi pun mandek. Hal tersebut membuat asuransi tanaman belum ada perluasan pasar baru. Padahal World Bank sempat meminta perlindungan tanaman ditingkatkan.
Di sisi lain, petani menghadapi biaya produksi yang mahal dan tidak seimbang dengan nilai jual. Pemerintah pun lebih banyak melakukan pendekatan impor.
“[asuransi tanaman] Kakao dan pala itu [masih] jalan, bagus. Sudah ada 3-5 perusahaan asuransi umum yang cover itu. Loss ratio juga masih bagus, di bawah 30 persen. Cuma karena nilai jual komoditas itu sangat rendah, jadi petani juga meninggalkan [asuransi] lagi,” katanya.