Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Alarm Kredit Macet Multifinance, Dipicu Real Estat dan Manufaktur

Dua sektor pembiayaan multifinance mencatatkan pinjaman bermasalah (nonperforming financing/NPF) tinggi pada kuartal I/2023.
Multifinance/Istimewa
Multifinance/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat dua sektor dengan rasio kredit macet atau non-performing financing (NPF) tertinggi di industri perusahaan pembiayaan (multifinance) pada kuartal I/2023.

Merujuk Laporan Kinerja OJK Triwulan I/2023 yang dimuat pada Senin (7/8/2023) menunjukkan sektor industri pengolahan dan real estate memiliki NPF perusahaan pembiayaan berdasarkan sektor ekonomi tertinggi. Masing-masing berada di level 7,47 persen dan 6,98 persen pada tiga bulan pertama 2023.

Bahkan, rasio kredit macet yang dimiliki kedua sektor ini melampaui NPF secara industri agregat yang hanya di level 2,37 persen pada kuartal I/2023.

Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, NPF di industri pengolahan mengalami perbaikan dari semula 7,56 persen, sedangkan NPF pada sektor real estate naik dari 5,78 persen pada kuartal I/2022.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan sektor industri pengolahan dan real estate memiliki rapor NPF tertinggi dibandingkan dengan sektor lain.

Untuk industri pengolahan, Bhima menuturkan industri ini mencatatkan penurunan impor bahan baku, masih menahan laju ekspansi, juga masih tertekan pasca pandemi.

Sementara itu, meningkatnya NPF di sektor real estat sejalan dengan permintaan kredit pemilikan rumah (KPR) yang masih melambat dan belum bisa rebound seperti masa pra pandemi.

Dalam hal ini, Bhima menyebut golongan menengah ke atas sedang mengerem pembelian property secondary dan properti investasi. Di sisi lain, golongan menengah masih mencari lapangan kerja, sedangkan golongan menengah bawah (MBR) masih berkutat dengan biaya hidup yang naik terutama kebutuhan pokok.

“Ini juga berpengaruh ke kemampuan atau likuiditas dari para pengembang, sehingga industri yang terkait dengan real estate membuat NPF jadi tinggi sekali,” kata Bhima saat dihubungi Bisnis, Rabu (9/8/2023).

Di samping itu, kedua sektor ini juga berkaitan dengan suku bunga. Pasalnya, kata Bhima, apabila cost of financing mahal maka ekspansi dan kemampuan pembayaran pinjaman akan terpengaruh.

“Kedua sektor ini [industri pengolahan dan real estate] perlu dicermati karena masih akan tinggi NPF sampai awal 2024. Harapannya, real estate akan bergerak lagi pasca pemilu selesai,” lanjutnya.

Kendati demikian, Bhima menilai NPF yang terjadi pada kedua sektor ini masih bisa ditekan. Menurutnya, lembaga pembiayaan harus lebih selektif pada industri pengolahan dan real estate, termasuk pembiayaan modal kerja.

“Pemilihan lokasi atau regional yang perlu dianalisis lebih jauh karena terdapat beberapa wilayah seperti di kota tier 2 dan tier 3 yang memiliki geliat di sektor industri pengolahan maupun real estate,” ujarnya.

Artinya, pemilihan lokasi dalam menyalurkan pembiayaan menjadi satu hal yang penting. “Kalau dua sektor ini direm semua, nanti akan ada miss-opportunity,” imbuhnya.

Selain itu, lembaga pembiayaan dinilai perlu menyeleksi rekam jejak calon debitur. Serta, memperluas pembiayaan ke sektor yang mulai tumbuh seperti transportasi, perhotelan, restoran, konstruksi, dan informasi teknologi.

“Ada beberapa sektor sebenarnya yang masih bisa diperluas sambil menunggu sektor industri pengolahan dan real estate pulih,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper