Bisnis.com, JAKARTA -- Bank digital PT Bank Jago Tbk. (ARTO) memiliki tingkat likuiditas yang ketat. Namun, bank masih terselamatkan dengan permodalan yang kuat.
Berdasarkan laporan keuangannya, rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit/LDR) Bank Jago ada di level 110,61% pada Juni 2023. Angkanya turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya atau Juni 2022 sebesar 118,81%.
LDR sendiri menunjukkan kondisi atau tingkat likuiditas suatu bank. Semakin tinggi LDR bank, maka semakin ketat likuditasnya. Sebaliknya, semakin kecil LDR, maka semakin longgar likuiditas bank. Adapun Bank Indonesia (BI) menetapkan posisi ideal LDR berada pada level 78 – 92 persen.
Artinya, meskipun LDR menyusut, tetapi kondisi likuiditas Bank Jago masih ketat. Sementara, Direktur Utama Bank Jago Arief Harris Tandjung mengatakan meskipun kondisi likuiditas bank ketat, tetapi tetap aman.
"LDR Bank Jago meskipun di atas 100% saat ini, kita miliki cadangan likuiditas yang besar karena capital tinggi," ujar Arief dalam konferensi pers peluncuran ‘GoPay Tabungan by Jago’ pada Rabu (18/10/2023) di Jakarta.
Bank Jago sendiri memiliki modal inti Rp7,06 triliun pada Juni 2023. Lalu, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) di level 72,83% per Juni 2023.
Baca Juga
Meski begitu, Bank Jago tetap berupaya mendongkrak kinerja pendanaan mereka untuk mengimbangi penyaluran pinjaman. Di antara upayanya itu adalah dengan peluncuran produk tabungan baru hasil kolaborasi dengan GoTo Finansial (Gopay) yakni ‘GoPay Tabungan by Jago’.
"Dengan produk baru itu, funding tabungan memang akan lebih tinggi lagi. Likuiditas dari sisi LDR pun pelan-pelan akan rendah," kata Arief.
Sebelumnya, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan bank-bank digital seperti Bank Jago memang mempunyai likuiditas yang ketat dilihat dari sisi LDR. Tingginya LDR di bank digital disebabkan karena ekspansi kredit yang besar, tetapi tidak diimbangi dengan kenaikan dana pihak ketiga (DPK).
Akan tetapi, pada dasarnya, bank digital mempunyai modal yang besar untuk mengembangi ekspansi kredit. Namun, kondisi demikian akan berbahaya, terutama saat tren suku bunga acuan BI yang tinggi.
"Risikonya besar untuk beberapa masalah, misalnya rasio kredit bermasalah [non performing loan/NPL] menjadi tinggi jika tidak hati-hati,” ujar Amin.