Bisnis.com, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah ditutup melemah ke level Rp15.815 atas dolar Amerika Serikat pada penutupan perdagangan kemarin.
Dikutip dari Bloomberg hari ini, Jumat (20/10/2023), kurs rupiah atas dolar AS ini menjadi titik pelemahan baru dalam 3 tahun terakhir.
Sebelumnya, level pelemahan rupiah di atas Rp15.800 terjadi pada akhir Maret 2020 dan mencapai puncaknya pada 3 April 2020 di level Rp16.430. Kondisi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 tengah memuncak untuk pertama kalinya di dunia.
Setelah BI kembali mengerek bunga acuan, rupiah sempat menguat ke level Rp13.973 pada 12 Februari 2021. Setelahnya, meski berfluktuasi, rupiah terus berada dalam tren pelemahan dan mencapai puncaknya sejauh ini pada perdagangan kemarin.
Pelemahan rupiah ditenggarai karena Fed Fund Rate, suku bunga acuan Bank Sentral AS, saat ini sekitar 5,25%—5,5%. Angka itu hanya beda tipis dengan BI Rate. Sinyal kenaikan bunga oleh The Fed pun masih ada. Memang tidak dalam waktu dekat. Namun, kode penaikan suku bunga itu dibaca serius oleh para pelaku pasar uang dan pasar modal.
Pelemahan kurs rupiah, terjadi meski suku bunga acuan telah dinaikkan oleh Bank Indonesia.
Baca Juga
Meski demikian, pelemahan ini tidak sendiri, Mata uang ringgit Malaysia jatuh ke level terendah dalam 25 tahun, atau sejak krisis keuangan Asia pada 1998. Ringgit ditutup turun 0,3% menjadi 4.7635 per dolar AS.
Sejatinya, Bank Indonesia telah melakukan upaya menahan penurunan melalui operasi moneter. Dalam 8 bulan terakhir, Bank Indonesia telah melakukan intervensi di pasar valas secara besar-besaran ketimbang menaikkan suku bunga acuan untuk menjaga rupiah. Akibatnya cadangan devisa turun US$10 miliar dalam 6 bulan terakhir atau dengan kata lain BI telah menyerap Rp150 triliun likuiditas mata uang rupiah dari perbankan domestik.
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan fokus pelaku pasar saat ini masih tertuju pada pidato Ketua The Fed Jerome Powell. Kebijakan bank sentral AS yang akan menentukan laju nilai tukar rupiah.
Sentimen lain datang dari dalam negeri, kala BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan ke level 6% dan menjadi yang pertama sejak Januari 2023 saat RDG BI mengerek suku bunga acuan ke level 5,75%.
Langkah BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah diramal hanya akan bertahan dalam jangka pendek, tetapi tidak secara jangka menengah dan panjang.
Menurutnya, memanasnya tensi politik di kawasan Timur Tengah membuat para spekulan menempuh aksi taking profit dari kenaikan dolar AS. Dari dalam negeri, musim politik yang berlangsung saat ini juga menjadi faktor yang akan membuat rupiah melemah.
“Ini harus berhati-hati karena yang dilawan BI adalah para spekulan, pas kebetulan bersamaan dengan tahun politik. Bisa saja rupiah itu ke Rp16.000 karena permainan spekulan yang sedang membutuhkan dana yang cukup besar,” ujar Ibrahim kepada Bisnis, Kamis (19/10).
Ibrahim mengatakan pada perdagangan kemarin terdapat aksi jual rupiah dalam jumlah besar. Dia menduga penjualan tersebut dilakukan untuk persiapan masa kampanye pemilihan presiden.
“Ada aksi jual rupiah yang begitu besar untuk persiapan pilpres [pemilihan presiden]. Kemudian nanti pada saat harga mungkin di Rp15.600-Rp15.700 bisa saja para spekulan akan membeli dolar AS kembali untuk menuju di Rp16.000,” ujarnya.
Senada, analis pasar mata uang Lukman Leong mengatakan kenaikan suku bunga BI memang cukup mengejutkan di tengah penurunan inflasi Indonesia.
Lukman menilai langkan menaikkan suku bunga merupakan usaha BI untuk meredam pelemahan rupiah, yang disebabkan oleh penguatan dolar AS akibat sikap agresif The Fed dan melonjaknya permintaan safe haven dari dampak perang Hamas-Israel.
“Hal ini akan menghambat depresiasi rupiah menuju Rp16.000, tetapi dengan perkembangan akhir-akhir ini, penguatan dolar AS terlihat susah dibendung,” pungkasnya.
Oleh sebab itu, dia mengatakan pergerakan rupiah ke level Rp16.000 akan sulit terelakkan kecuali jika ada perubahan besar seperti sikap The Fed yang melunak dan perang Israel vs Hamas mulai mereda.