Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Bagong Suyanto

Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Efek Domino Depresiasi NilaiTukar Rupiah

Saat kondisi keuangan AS mengalami defisit yang kian membengkak, posisi nilai tukar mata uang dolar AS justru melonjak naik hingga mata uang lain terpuruk.
Karyawan menunjukan uang dolar Amerika Serikat (AS) di Jakarta, Selasa (5/9/2023). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan menunjukan uang dolar Amerika Serikat (AS) di Jakarta, Selasa (5/9/2023). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Ketika kondisi keuangan negara Amerika Serikat (AS) mengalami defisit yang kian membengkak, posisi nilai tukar mata uang dolar AS justru melonjak naik hingga menyebabkan mata uang negara lain terpuruk. Kenaikan tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS yang meningkat hingga 5% membuat penarikan dolar AS di seluruh dunia marak untuk diinvestasikan kembali ke AS.

Bagi Indonesia, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tentu perlu diwaspadai. Meskipun neraca perdagangan Indonesia pada September 2023 sebetulnya mencatatkan surplus sebesar US$3,42 miliar, tetapi posisi rupiah justru melemah. Menurut Bank Indonesia (BI), per 26 Oktober 2023, kurs rupiah referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate tercatat Rp15.933 per dolar AS. Pelemahan nilai tukar rupiah ini terjadi saat indeks dolar AS terpantau menguat ke level 106,49%.

Upaya BI untuk menstabilkan rupiah, harus diakui bukan hal yang mudah dilakukan. Bukan tidak mungkin, nilai tukar rupiah akan tembus Rp16.000 per 1 dolar AS jika kondisi geopolitik masih tidak menentu. Diprediksi posisi dolar AS akan bertahan hingga akhir tahun. Pada 2023, ekonomi AS diperkirakan hanya tumbuh 1,1%, sehingga berbagai upaya yang dilakukan bank sentral AS untuk mengatasi persoalan ekonominya niscaya akan membuat mata uang dolar AS kian diburu.

Depresiasi mata uang, termasuk rupiah sering terjadi pada negara dengan fundamental pertumbuhan yang lemah seperti defisit transaksi berjalan yang terus-menerus, serta tingginya tingkat inflasi.

Secara garis besar ada efek domino yang terjadi ketika nilai tukar rupiah turun.

Pertama, mempengaruhi kelangsungan hidup sejumlah sektor industri manufaktur. Pengalaman di berbagai negara membuktikan ketika terjadi pelemahan mata uang, konsekuensinya sejumlah industri seperti industri makanan-minuman, industri tekstil dan sejenisnya akan terdampak. Kenaikan nilai mata uang dolar AS, misalnya, secara langsung akan menyebabkan harga bahan baku ikut terkatrol naik.

Di Indonesia, sebagian besar kebutuhan produksi industri makanan-minuman sebagian besar masih impor. Ketika harga bahan baku naik, tidak lagi terhindarkan lagi biaya produksi akan ikut meningkat. Konsekuensinya harga jual produk ikut naik, bahkan pada tingkat yang tidak lagi kompetitif di pasar.

Di berbagai daerah, impor bahan baku yang dibutuhkan oleh industri makanan-minuman, antara lain gandum, gula, dan kedelai. Kendati belakangan ini dampak penguatan dolar AS belum dirasakan terlalu signifikan, tetapi para pelaku industri umumnya harus mengeluarkan biaya lebih besar dari biasanya untuk membeli bahan baku kebutuhan produksi itu.

Kedua, pelemahan rupiah dan kenaikan nilai tukar mata uang dollar AS, cepat atau lambat akan menyebabkan terjadinya kenaikan biaya logistik. Untuk proses pengiriman produk, sudah tentu akan terjadi kenaikan biaya transportasi. Untuk produk yang diekspor ke luar negeri, niscaya mereka harus membayar lebih biaya transportasi.

Selama ini, para pelaku industri menengah dan industri besar biasanya lebih memilih untuk menahan beban biaya produksi dengan cara memangkas margin keuntungan sembari melihat perkembangan dari tren pelemahan nilai tukar rupiah. Bagi kalangan pengusaha nasional, mereka terpaksa melakukan hal itu, karena kenaikan biaya logistik. Bagi para pelaku usaha memangkas sedikit keuntungan agar usahanya dapat terus kompetitif di pasar adalah jalan keluar yang realistis.

Ketiga, efek domino pelemahan rupiah tak pelak juga akan menyebabkan terjadinya pelemahan permintaan dan daya beli masyarakat. Selama ini, banyak kasus membuktikan jika nilai mata uang terdepresiasi, kenaikan harga produk impor dapat meningkatkan inflasi lokal. Depresiasi mata uang dapat meningkatkan inflasi karena harga barang impor menjadi lebih mahal. Kenaikan harga barang impor ini berpotensi menyebar ke sektor lain dalam perekonomian.

Keempat, tidak hanya inflasi, efek domino dari terjadinya depresiasi mata uang rupiah terhadap dolar AS juga berpotensi meningkatkan jumlah dan kewajiban pemerintah maupun swasta dalam membayar utang. Bagi Indonesia yang memiliki utang luar negeri yang termasuk tinggi, terjadinya depresiasi mata uang rupiah niscaya akan membuat beban pembayaran utang menjadi lebih mahal.

Pengalaman selama ini menjadi pelajaran penting bahwa depresiasi mata uang bisa menimbulkan permasalahan yang rumit sekaligus memengaruhi banyak aspek kehidupan di suatu negara.

Tidak banyak yang bisa dilakukan guna mencegah depresiasi rupiah terhadap dolar AS. Mencegah dampak depresiasi rupiah tak makin parah, tidak mungkin hanya mengandalkan peran pemerintah. Di luar upaya kelembagaan dan regulasi, tak kalah penting adalah membangun kesadaran masyarakat tentang arti penting investasi rupiah. Tidak menimbun dolar AS dan tidak mudah tergoda pada produk impor bisa dilakukan masyarakat untuk membantu meredam depresiasi rupiah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper