Bisnis.com, JAKARTA — Likuiditas di pasar keuangan nasional berpotensi kian mengetat seiring dengan kian tingginya suku bunga pasar. Kondisi ini berpotensi mendorong perebutan likuiditas di pasar yang memaksa instrumen keuangan diterbitkan dengan bunga yang lebih tinggi demi menarik minat investor.
Naiknya suku bunga acuan Bank Indonesia bakal ditransmisikan pada bunga berbagai instrumen keuangan lainnya, terutama deposito bank dan surat berharga berbasis utang, baik yang diterbitkan pemerintah maupun korporasi.
Secara teoretis, naiknya suku bunga bakal mendorong masyarakat untuk memarkirkan dananya di berbagai instrumen keuangan ketimbang melakukan aktivitas belanja, konsumsi, atau investasi di sektor riil. Alhasil, tingkat permintaan barang dan jasa berkurang, inflasi pun mereda.
Hal ini menjadikan perputaran likuiditas di instrumen keuangan justru lebih berlimpah. Namun, pada saat yang sama, di era bunga tinggi masyarakat cenderung akan mengincar instrumen yang mampu menawarkan tingkat bunga paling tinggi.
Ulasan tentang kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia yang diikuti dengan naiknya berbagai bunga instrumen investasi, menjadi salah satu pilihan Bisnisindonesia.id, selain beragam kabar ekonomi dan bisnis yang dikemas secara mendalam dan analitik tersaji dari meja redaksi Bisnisindonesia.id.
Berikut intisari dari top 5 News Bisnisindonesia.id yang menjadi pilihan editor, Sabtu (11/11/2023):
Menakar Peluang Akuisisi Bank Muamalat oleh BTN
Isu rencana PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. untuk mengakuisisi salah satu bank syariah nasional sebagai kendaraan untuk memperkuat lini syariah sekaligus penampung spin off unit usaha syariahnya (UUS) kian mengerucut. Kini, PT Bank Muamalat Tbk. menjadi kandidat kuatnya.
Akuisisi BTN terhadap Bank Muamalat dikabarkan sejalan dengan rencana Bank Muamalat untuk menjadi perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia, setelah selama ini sudah berstatus sebagai perusahaan terbuka.
Berdasarkan informasi yang diterima Bisnis, BTN dikabarkan ingin mengakuisisi Bank Muamalat dan menggabungkan Bank Muamalat dengan BTN Syariah. Bank BTN kini sedang mengkaji sejumlah opsi terkait aksi korporasi tersebut.
Kemungkinan akuisisi BTN ke Bank Muamalat pun memang didorong oleh sejumlah kondisi. Dari sisi BTN, perseroan memang berencana akan mengakuisisi bank umum syariah (BUS) seiring dengan spin off UUS mereka BTN Syariah.
Lika-Liku Perebutan Likuiditas Pasar Keuangan Era Bunga Tinggi
Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia yang diikuti dengan naiknya berbagai bunga instrumen investasi, mendorong perbankan, manajer investasi, dan pemerintah untuk menarik likuiditas di masyarakat.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk., David Sumual, mengatakan bahwa fenomena perpindahan likuiditas lazim terjadi di tengah iklim suku bunga tinggi. Menurutnya, dana publik saat ini keluar dari instrumen investasi lain atau deposito yang dianggap menawarkan imbal hasil rendah.
Terutama, saat pemerintah masif mendorong kepemilikan SBN melalui penerbitan SBN ritel. Seperti diketahui, pemerintah menargetkan penggalangan dana sebesar Rp130 triliun hingga Rp150 triliun pada tahun ini melalui penerbitan SBN ritel.
Dari kalangan manajer investasi, Investment Specialist Sucorinvest Asset Management, Felisya Wijaya, mengatakan bahwa masifnya penerbitan SBN ritel menjadi salah satu penyebab lesunya dana kelolaan industri reksa dana.
Manajer investasi yang mengandalkan investor individu ini menilai penerbitan SBN ritel dengan kupon menarik memberikan ruang keluarnya dana investor dari reksa dana.
Faktor Saham Prajogo Pangestu BREN dan CUAN Kena Gembok BEI
Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan suspensi atau penghentian sementara perdagangan saham dua emiten milik Prajogo Pangestu, yaitu PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) dan PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk. (CUAN) hari ini, Jumat (10/11/2023).
Dalam pengumumannya, BEI menuturkan suspensi ini dilakukan sehubungan dengan terjadinya peningkatan harga kumulatif yang signifikan pada saham CUAN dan BREN.
Penghentian sementara perdagangan saham BREN dan CUAN ini bertujuan untuk memberikan waktu yang memadai bagi pelaku pasar untuk mempertimbangkan secara matang dalam setiap pengambilan keputusan investasinya di saham BREN maupun CUAN.
Bursa pun mengimbau kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk selalu memperhatikan keterbukaan informasi yang disampaikan oleh BREN dan CUAN.
Peperangan Hantam Ekonomi Israel, Sepertiga Bisnis Tutup
Penggempuran terhadap wilayah Gaza telah memukul ekonomi Israel seiring dengan pelemahan mata uang dan penutupan aktivitas bisnis. Pada saat yang sama, warga Israel mulai kehilangan kepercayaan pada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Gubernur Bank Sentral Israel atau Bank of Israel Amir Yaron mengatakan bahwa perang dengan Hamas merupakan ‘guncangan besar’ bagi perekonomian negara tersebut dan terbukti lebih mahal dari perkiraan semula. Ekonomi Israel pun babak belur untuk menahan dampak dari perang.
"Meskipun ekonomi Israel kuat dan stabil, tidak diragukan lagi bahwa perang ini akan memiliki implikasi fiskal dan menimbulkan tekanan anggaran," kata Yaron dikutip dari Bloomberg, Jumat (10/11/2023).
Pertumbuhan produk domestik bruto Israel kemungkinan akan turun 1% pada akhir 2023 hingga 2024. Selain itu, rasio utang terhadap PDB kemungkinan akan meningkat lebih dari 65% pada akhir tahun 2024 seiring melonjaknya biaya.
Pelemahan Ekonomi Setelah Berakhirnya Windfall Commodity
Perlambatan ekonomi yang mulai terjadi periode Juli-September memicu kekhawatiran seiring dengan pelemahan harga komoditas global.
Perekonomian Indonesia dinilai mulai memasuki tren perlambatan yang cukup dalam. Kondisi perlambatan tercermin dari pertumbuhan ekonomi kuartal III/2023 yang tercatat sebesar 4,94% secara tahunan.
Capaian pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kuartal II/2023 yang sebesar 5,17%, juga jauh lebih rendah dibandingkan kuartal III/2021 yang sebesar 5,73% secara tahunan.
“Realisasi pertumbuhan ekonomi ini mengakhiri tren pertumbuhan di atas 5 persen selama 7 kuartal terakhir. Artinya Indonesia mulai memasuki periode perlambatan ekonomi yang cukup dalam,” kata Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati melalui keterangan resmi, Kamis (9/11/2023).
Anis mengatakan bahwa windfall commodity telah berakhir, terlihat dari harga komoditas utama Indonesia yang mulai mengalami penurunan harga secara perlahan, misalnya minyak sawit, batu bara, dan nikel.