Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia dan Malaysia mengalami pertumbuhan pesat dalam industri PayLater, yang menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap layanan ini. Baik Indonesia maupun Malaysia telah mengambil langkah penting dalam mengatur industri PayLater.
Artikel bertajuk Membandingkan Poin Penting Aturan Baru Paylater di Indonesia & Malaysia Cegah Jebakan Utang menjadi salah satu berita pilihan editor BisnisIndonesia.id. Selain berita tersebut, sejumlah berita menarik lainnya turut tersaji dari meja redaksi BisnisIndonesia.id.
Berikut ini sorotan utama Bisnisindonesia.id, Kamis (16/1/2025):
Ekspor Indonesia Sepanjang 2024 Rebound Meski Batu Bara dan CPO Anjlok
Kinerja ekspor sepanjang 2024 rebound setelah anjlok pada setahun sebelumnya. Sayangnya, ekspor komoditas unggulan seperti batu bara dan CPO anjlok.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap total ekspor Indonesia sepanjang 2024 mencapai US$264,7 miliar, tumbuh 2,29% (year-on-year). Rapor ekspor tahun lalu jauh lebih baik daripada tahun 2023 yang minus 11,34% dengan total nilai ekspor US$258,77 miliar.
Ekspor ke China masih mendominasi dengan total nilai mencapai US$60,22 miliar sepanjang 2024. Disusul dengan Amerika Serikat dan India masing-masing senilai US$26,31 miliar dan US$20,32 miliar.
“Industri pengolahan dan pertanian menjadi pendorong utama atas peningkatan kinerja ekspor non migas pada 2024, dengan andil masing-masing 3,84% dan 0,51% terhadap pertumbuhan ekspor non migas," ujar Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers pada Rabu (15/1/2025).
Menurut golongan barang, ekspor batu bara dan minyak kelapa sawit menjadi komoditas terbesar yang diekspor oleh Indonesia yang tergabung dalam bahan bakar mineral (HS 27) senilai US$39,65 miliar dan lemak dan minyak hewan/nabati senilai US$26,82 miliar.
Membandingkan Poin Penting Aturan Baru Paylater di Indonesia & Malaysia Cegah Jebakan Utang
Seiring dengan semakin populernya layanan PayLater, berbagai peraturan baru telah diberlakukan untuk mencegah terjadinya kredit macet yang semakin dalam.
OJK baru-baru ini mengeluarkan aturan yang akan membatasi masyarakat untuk bisa menggunakan layanan buy now pay later (BNPL), yang sering kali disebut Paylater. Aturan anyar yang dimaksud antara lain, pengguna PayLater kini diwajibkan memiliki usia minimal 18 tahun dan pendapatan bulanan yang mencukupi. Dalam hal ini, mereka yang memiliki penghasilan minimal Rp3 juta per bulan.
Di sisi lain, melansir Free Malaysia Today, Negeri Jiran itu juga menyusun The Consumer Credit Act (CCA) atau Undang-Undang Kredit Konsumen untuk memberlakukan peraturan yang lebih ketat pada penyedia kredit, terutama yang menawarkan layanan "beli sekarang, bayar nanti" (BNPL).
Di Indonesia, dengan aturan yang lebih ketat, diharapkan pengguna PayLater dapat lebih bijak dalam mengelola keuangan dan menghindari jebakan utang.
Tujuan dari sejumlah aturan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) utamanya untuk melindungi konsumen dari praktik-praktik yang tidak fair, seperti bunga yang terlalu tinggi atau penagihan yang tidak etis. Tak kalah penting juga untuk mengurangi risiko kredit macet, sehingga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan dapat terjaga.
Target Ambisius RI Kejar EBT dalam RUPTL PLN 2025—2034
Transisi energi menjadi salah satu upaya yang akan dilakukan pemerintah untuk mencapai target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Pemerintah bahkan menargetkan peningkatan pasokan energi baru terbarukan (EBT) dapat mencapai 60% dalam 10 tahun ke depan, meskipun dalam bauran energi nasional baru menyentuh 13,09% pada 2023.
Kendati demikian, pemerintah juga tidak patah arang. Berbagai strategi disiapkan, termasuk dengan menetapkan target tinggi penambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis energi bersih dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025—2034.
Kendati demikian, ambisi pemerintah untuk menghasilkan 49,7 gigawatt (GW) listrik berbasis EBT dari 71 GW rencana pengembangan pembangkit listrik dalam RUPTL PLN 2025—2034 tidaklah mudah. Sejumlah persoalan masih membelit, terutama masalah pendanaan.
Menakar Cuan Saham BBRI Akibat BI Pangkas Suku Bunga
Saham BBRI berpeluang menikmati manfaat dari momentum penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI).
Seperti diketahui, BI memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke 5,75% dari 6% setelah memulai siklus pemangkasan suku bunga pada September 2024 dengan bobot yang sama.
Adapun, dalam kondisi perubahan suku bunga acuan menuju level yang lebih rendah, analis telah memberikan pandangannya terhadap dampak iklim suku bunga murah terhadap kinerja PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI).
Analis BRI Danareksa Sekuritas Victor Stefano dan Naura Reyhan Muchlis dalam hasil riset yang dipublikasikan, Selasa (14/1/2025), mengatakan cuan dari kemampuan bank besar merealisasikan kredit jumbo akibat porsi kredit dengan bunga tetap.
Menurut keduanya, bank dengan porsi bunga tetap yang tinggi akan menikmati manfaat yang berlimpah. Pada kondisi tersebut, tercatat BBRI memiliki porsi paling tebal bila mengacu pada kinerja selama 9 bulan pertama 2024, yakni 60%.
Kemudian, diikuti oleh PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) dengan porsi 59%, dan PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA). Sebaliknya, bank dengan porsi kredit bunga mengambang atau floating tertinggi, yakni PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) dengan 43%, BRIS dengan 1%, dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) sebesar 28%.
BI Rate Dipangkas, Bank Indonesia Pilih Utamakan Pertumbuhan Ekonomi Meski Hadapi Trump Effect
Bank Indonesia secara mengejutkan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) sejalan dengan upaya menghidupkan mesin ekonomi, di tengah kekhawatiran terhadap gejolak nilai tukar rupiah dan ancaman tarif Donald Trump.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 14—15 Januari 2025 memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75%, suku bunga Deposit Facility juga turun 25 bps sebesar 5%, dan suku bunga Lending Facility juga turun 25 bps menjadi sebesar 6,5%. BI rate dipangkas setelah mempertahankan suku bunga sejak September 2024.
“Keputusan ini konsisten dengan tetap rendahnya perkiraan inflasi 2025 dan 2026 yang terkendali dalam sasaran 2,5±1%, terjaganya nilai tukar rupiah yang sesuai dengan fundamental untuk pengendalian inflasi dalam sasarannya dan perlunya upaya untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers pada Rabu (15/1/2025).
Langkah BI menggambarkan tujuan bank sentral turut mendorong geliat ekonomi seiring prospek pertumbuhan ekonomi yang cenderung lebih rendah daripada perkiraan sebelumnya.