Bisnis.com, JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menerima sebanyak 324.058 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) selama periode Februari 2021-Maret 2024.
Untuk periode Maret 2024, jumlah LTKM secara keseluruhan yang dikirimkan oleh pihak pelapor mencapai 7.620 laporan.
Adapun, distribusi jumlah kumulatif penerimaan LTKM pada Maret 2024, penyedia jasa keuangan (PJK) bank memiliki persentase paling besar, yakni 59,6%, sementara PJK nonbank 40,3%, dan pengadaan barang/jasa pemerintah 0,1%.
Bila dilihat secara jumlah kumulatif LTKM per kelompok industri, maka bank mencatatkan 17.517 laporan. Bila diperinci, bank umum sebanyak 17.466 laporan dan BPR mencapai 51 laporan.
Sementara itu, nonbank mencapai 11.837 laporan dari tahun sebelumnya yang mencapai 17.933 laporan.
Kemudian, jumlah kumulatif transaksi LTKM bank sejak Januari hingga Maret 2024, mencapai 1,44 juta transaksi, turun 27,7% yoy dari periode yang sama tahun lalu, yakni 2 juta transaksi.
Sebaliknya, jumlah transaksi LTKM pada nonbank naik menjadi 1,2 juta transaksi dari periode yang sama tahun lalu 306.093 transaksi.
Baca Juga
Tenaga Ahli Kepala PPATK Judith L.R. Panggabean menyebut LTKM ini bermula dari red flag, sebuah penanda apabila ditemukan transaksi atau aktivitas yang tidak wajar, yang ditemukan dalam proses identifikasi, verifikasi, dan pemantauan transaksi.
“Red flag kemudian dianalisis dan dilaporkan ke PPATK dalam bentuk LTKM,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (8/6/2024).
Kemudian, pada laporan terpisah, International Monetary Fund (IMF) tahun 2020 juga merilis estimasi total kerugian rata-rata tahunan akibat serangan siber yang dialami sektor jasa keuangan secara global mencapai US$100 miliar atau lebih dari Rp1.433 triliun.
Selain itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun yang sama memprediksi bahwa jumlah pencucian uang mencapai nilai Rp29.000 triliun setiap tahun.
Adapun, salah satu modus penipuan yang kerap didapati adalah social engineering, di mana seorang hacker memanipulasi korbannya untuk memberikan kata sandi atau informasi bank, bahkan secara diam-diam memasang (install) perangkat lunak berbahaya di komputer korban untuk mendapatkan kendali atas perangkat tersebut.
Setelah mendapatkan akses, hacker akan mengambil mencuri identitas korban hingga menguras tabungan.
Artinya, perbankan memainkan peran krusial dalam menjadi garda terdepan untuk mengatasi kejahatan keuangan.
Salah satu caranya adalah dengan mengelola hubungan dengan calon dan pengguna jasa dengan menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa (PMPJ), termasuk memutus hubungan jika ditemukan identitas palsu, penolakan pada tahap PMPJ, pengkinian profil, pemantauan transaksi, hingga pelaporan.
Selain implementasi PMPJ, perbankan pun perlu mengedukasi masyarakat dan nasabahnya, salah satu melalui konten edukatif
Presiden Direktur PT Bank DBS Indonesia Lim Chu Chong menyampaikan, sebagai bank yang digerakkan oleh tujuan positif, Bank DBS Indonesia berkomitmen untuk senantiasa menjaga kepercayaan nasabah, termasuk soal keamanan bertransaksi.
“Oleh karena itu, kami menerapkan berbagai teknologi untuk memastikan adanya lingkungan perbankan digital yang aman untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan beragam kejahatan keuangan di sekitar kita,” ujarnya.