Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merilis aturan yang membuat bank perekonomian rakyat (BPR) bisa melantai di bursa atau mencatatkan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO). Lantas, bagaimana kesiapan industri BPR sendiri?
Sebagai informasi, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 7 Tahun 2024 tentang BPR dan BPRS untuk memperkuat aspek kelembagaannya sesuai amanat UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).
Dalam pasal 35, diatur mengenai penawaran umum efek BPR atau BPRS melalui pasar modal. Dalam ayat 2 pasal 35 disebutkan penawaran umum efek melalui pasar modal dilakukan dalam bentuk efek bersifat ekuitas dan/atau efek bersifat utang, berupa obligasi bagi BPR atau sukuk bagi BPRS.
Ketua Umum Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) Tedy Alamsyah mengatakan industri BPR merespon dengan baik adanya ketentuan itu. Adapun, IPO hanya dimungkinkan bagi BPR yang memiliki modal inti Rp80 miliar, sehingga kesempatannya dimiliki oleh BPR-BPR besar.
"Bagi kami ini merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan pendanaan murah. Akan tetapi tantangannya BPR tersebut harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan terkait kegiatan perusahaan terbuka atau terdaftar di pasar modal," kata Tedy kepada Bisnis pada beberapa waktu lalu (22/6/2024).
Baca Juga
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan dalam ketentuannya, memang tidak semua BPR bisa IPO. "Ada syarat-syarat tertentu yang kita tetapkan. Nanti akan kami bagi pengelompokan. Misalnya kekuatan permodalan juga tingkat kesehatan yang akan memungkinan mereka akan diterima di IPO,” ujar Dian.
Persyaratan ditetapkan sebab reputasi BPR akan dipertaruhkan terkait aksi korporasi ini. Tentu, jika IPO berhasil, hal tersebut dapat mendorong BPR lain untuk mengikuti jejaknya. Namun, jika gagal, hal ini dapat menghambat BPR lain dalam merencanakan IPO ke depan.
OJK pun senantiasa selektif dan secara bertahap memperkuat persyaratan bagi BPR untuk melaksanakan IPO. "Setidaknya akan ada tiga jenis pengelompokan BPR, kalau sekarang kita ngobrol dengan bank, [katakan kita sederhanakan] seperti tier 1, tier 2, dan tier 3 yang mereprentasikan permodalan. Ini kita kerjakan secara lebih detil sebelum bisa IPO," tuturnya.
Ia juga mengatakan bahwa belum ada BPR yang mengajukan kesiapan atas aksi korporasi ini. “Belum [karena] enggak sembarangan. Kriterianya kita set dulu, baru mereka tahu BPR-nya bisa masuk [IPO] atau enggak," ucapnya.
Dian mengatakan ini dilakukan untuk mengurangi risiko bagi investor dan memastikan investor tidak akan dirugikan. Pasalnya, jika BPR yang buruk kinerjanya melakukan IPO tanpa persiapan yang memadai, ada risiko bahwa investor akan kehilangan kepercayaan terhadap BPR tersebut
"Ini bahaya kalau kinerja BPR tidak baik, nanti investor enggak percaya lagi ke BPR," ujarnya.
Adapun, alasan OJK membuka kesempatan BPR dan BPRS untuk melakukan aksi penawaran umum efek melalui pasar modal untuk memperluas akses permodalan.
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), telah terdapat 1.392 BPR di Indonesia per Maret 2024.
Sementara, modal inti yang dimiliki oleh industri BPR per Maret 2024 telah mencapai Rp27,82 triliun, naik 5,1% secara tahunan (year on year/yoy).
Industri BPR juga memiliki aset total sebesar Rp193,99 triliun, naik 6,82% yoy. BPR telah meraup laba bersih sebesar Rp430 miliar hingga Maret 2024, namun merosot 47,87% yoy.