Bisnis.com, JAKARTA – Pangsa pasar lini usaha asuransi marine cargo dalam pendapatan premi di industri asuransi umum hanya sebesar 5%. Padahal lini usaha ini dinilai punya potensi pasar besar bila dikembangkan.
Wahyudin Rahman, Praktisi Manajemen Risiko dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) mengatakan prospek asuransi marine cargo masih sangat menjanjikan terutama karena karakter geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau membuat distribusi barang antar pulau sangat bergantung pada moda transportasi laut.
"Volume pengiriman domestik terus meningkat, seiring pertumbuhan e-commerce, logistik, hingga distribusi bahan pokok, barang industri, dan energi. Di sektor ekspor, perdagangan luar negeri juga terus tumbuh, terutama dengan negara-negara Asia serta seiring program penggalakan go ekspor oleh pemerintah," kata Wahyudin kepada Bisnis, dikutip Minggu (13/4/2025).
Sepanjang 2024, premi dicatat industri asuransi umum untuk lini usaha marine cargo sebesar Rp5,30 triliun, tumbuh 4,2% year on year (YoY) atau Rp223 miliar dari Rp5,08 triliun pada periode sebelumnya. Dari total premi dicatat asuransi umum sebesar Rp112,86 triliun, lini usaha marine cargo berkontribusi hanya sebesar 5%.
"Market penetration-nya belum maksimal, karena banyak pelaku usaha yang belum menyadari pentingnya proteksi terhadap risiko selama pengangkutan barang terutama pedagang menengah kebawah termasuk masyarakat," ujarnya.
Bicara ihwal dukungan pemerintah, Wahyudin menjelaskan bahwa sebenarnya saat ini asuransi marine cargo sudah diwajibkan secara umum oleh pemerintah, yakni melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2020 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut Nasional dan Asuransi Nasional Untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu. Sementara itu, pengawasan asuransi marine cargo dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Baca Juga
Kecilnya potensi pasar yang bisa dioptimalkan oleh industri asuransi umum ini menurut Wahyudin terkendala oleh beberapa tantangan. Pertama, rendahnya literasi dan kesadaran pelaku usaha terhadap pentingnya asuransi pengangkutan.
Kedua, banyak yang menganggap asuransi ini hanya menambah biaya, padahal nilainya relatif kecil dibanding risiko kerugian.
Ketiga, persaingan tarif yang ketat, terutama di pasar domestik yang membuat margin underwriting semakin tipis.
Keempat, kualitas infrastruktur pelabuhan dan kapalyang belum merata yang bisa meningkatkan risiko kerusakan barang di perjalanan.
"Kelima, kendala dokumentasi dan klaim, seperti bukti kerusakan dan waktu tunggu yang lama, juga membuat beberapa pelaku usaha enggan menggunakan asuransi," ujarnya.
Dalam kaitannya asuransi marince cargo terhadap kegiatan perdagangan ekspor, lini usaha di asuransi umum ini dinilai juga akan terdampak dari adanya kebijakan tarif Amerika Serikat (AS). Tarif resiprokal AS yang dikenakan di Indonesia bisa berdampak pada kinerja ekspor Indonesia ke AS, yang pada gilirannya akan berdampak juga ke asuransi marine cargo.
Menaggapi hal itu, Wahyudin berpendapat bahwa dampaknya terhadap asuransi marine cargo tidak akan terlalu signifikan. Alasannya, sebagian besar ekspor Indonesia ke AS menggunakan skema FOB, di mana tanggung jawab asuransi berada di pihak pembeli/importir di AS, bukan eksportir Indonesia. Maka, polis asuransi tidak dibukukan di Indonesia.
Kecuali, ujarnya, jika ekspor dilakukan dengan Cost Insurance Freight (CIF) maka eksportir Indonesia berkewajiban mengasuransikan barang tersebut dan biasanya melalui asuransi marine cargo domestik.
"Jadi, jika kebijakan tarif AS membuat ekspor turun, pengaruh ke bisnis asuransi marine cargo dalam negeri hanya akan terasa jika terjadi penurunan CIF-based shipments. Namun, karena porsi CIF tidak dominan, maka dampaknya cenderung minim secara total," pungkasnya.