Bisnis.com, JAKARTA - Permainan judi online atau judi daring kian meresahkan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memasang kuda-kuda untuk mengadang dampak transaksi judi online terhadap sektor jasa keuangan.
Dalam laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sebanyak 3,2 juta warga teridentifikasi bermain judi online yang terdiri atas pelajar, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga.
Identifikasi tersebut didapat dari sebanyak 5.000 rekening yang berhasil diblokir. Rata-rata para bermain judi online yang teridentifikasi ini bermain di atas Rp100.000 atau hampir 80% dari 3,2 juta pemain yang teridentifikasi.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menjelaskan OJK pun langsung pasang kuda-kuda mengantisipasi dampak dari transaksi judi online itu terhadap sektor jasa keuangan.
OJK menganalisis sejauh ini keterkaitan judi online dengan sektor jasa keuangan ada pada pemanfaatan rekening perbankan.
"Kalau sampai saat ini, yang terkait dengan kewenangan OJK dan memang sudah terbukti ada jelas terkaitannya dengan industri jasa keuangan adalah yang memiliki rekening di bank," kata Mahendra setelah rapat kerja OJK dengan Komisi XI DPR RI pada beberapa waktu lalu (26/6/2024).
Baca Juga
Selain itu, transaksi judi online terkait dengan sistem pembayaran yang saat ini berlaku di masyarakat.
"Akan tetapi, itu [sistem pembayaran] tentu ranah Bank Indonesia," ujar Mahendra.
Meski begitu, Mahendra mengatakan OJK tetap mengantisipasi keterkaitan transaksi judi online ke sejumlah lembaga jasa keuangan lainnya.
Misalnya, ada kekhawatiran pemain judi online memanfaatkan fasilitas pinjaman dari perbankan atau fasilitas beli sekarang dan bayar nanti (buy now pay later/BNPL) alias paylater guna main judi online.
"Kalau keinginan kami untuk menjaga integritas industri jasa keuangan, itu tentu untuk seluruh industri di sektor jasa keuangan [pencegahan dampak transaksi judi online] tidak ada pengecualian," ujar Mahendra.
Blokir 5.000 Rekening
Atas keterkaitannya transaksi judi online dengan kepemilikan rekening di bank, OJK telah melakukan pemblokiran 5.000 rekening bank dari data yang diterima dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
"Serta meminta perbankan dalam satu customer identification file yang sama. OJK juga menginstruksikan perbankan melakukan verifikasi termasuk tracing profiling yang terindikasi adanya transaksi judol [judi online],” ujar Mahendra.
Kemudian, OJK juga telah memasukkan daftar rekening nasabah yang masuk dalam pusaran judol ke dalam sistem pencegahan pendanaan terorisme, sehingga mampu diakses jasa keuangan dan mempersempit ruang gerak pelaku judi online.
Meski begitu, Wakil Ketua OJK Mirza Adityaswara menyampaikan transaksi judi online di perbankan sulit dilacak karena nilainya sangat kecil, sedangkan jumlah rekeningnya sangat banyak.
“Saat ini, sekitar 5.000 rekening kita tutup atau blokir. Upaya itu tidak berhenti di situ. Harus bisa kita tracing rekening ini, sebenarnya ke mana larinya,” ujarnya dalam Forum Group Discussion dengan editor media massa di Batam, pada awal bulan ini (8/6/2024).
Dia mengutarakan kemampuan bank dalam melacak transaksi mencurigakan tidak signifikan, karena nilai yang wajib dilaporkan kepada PPATK minilal Rp500 juta. Padahal, transaksi pada judi online nilainya sangat kecil.
Oleh sebab itu, sambungnya, perlu dibangun sistem untuk mendeteksi transaksi judi online. Menurutnya, sistem harus dibangun oleh perbankan agar dapat mengetahui lebih detail transaksi judi online.
“Ini harus dibangun suatu sistem. Kalau PPATK transaksi di atas Rp500 juta harus dilaporkan. Kalau judi online tidak Rp500 juta. Kecil-kecil jumlahnya, ini bank harus menelusuri, ini harus buat sistem memantau pergerakan aneh rekening-rekening kecil itu. Kami upayakan hal tersebut bisa terjadi,” jelasnya.
Di perbankan, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) atau BRI pun turut aktif memberantas rekening yang terkait transaksi judi online. BRI misalnya melakukan browsing ke berbagai situs judi online untuk didata.
Apabila ditemukan indikasi rekening BRI yang digunakan sebagai penampung top up atau deposit untuk bermain judi online maka tampilan website judi online tersebut disimpan untuk dasar pemblokiran rekening.
“Proses pemberantasan ini telah kami lakukan sejak Juli 2023 dan hingga kini masih terus berlangsung. Pada periode Juli 2023 hingga Juni 2024 kami telah menemukan 1.049 rekening yang langsung diikuti dengan pemblokiran,” ungkap Direktur Manajemen Risiko BRI Agus Sudiarto dalam keterangan tertulis pada Jumat (28/6/2024).
Dampak Buruk ke Kinerja Bank
Selain pemanfaatan rekening untuk transaksi judi online, sektor jasa keuangan seperti perbankan dikhawatirkan terimbas pemburukan kualitas kredit debitur rumah tangga atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terlibat judi online.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan dampak tersebut bisa saja dirasakan bank. "Misalnya debitur ambil KUR [kredit usaha rakyat], kredit UMKM, lalu dipakai untuk judi," katanya kepada Bisnis pada Kamis (27/6/2024).
Kemudian, ketika kondisi ekonomi debitur turun gara-gara terlibat judi, kemampuan bayar debitur pun jeblok.
Apalagi, rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) bank kian membengkak. Berdasarkan laporan OJK, NPL gross perbankan mencapai 2,33% per April 2024, merangkak naik dari bulan sebelumnya, di mana per Maret 2024 NPL gross berada di level 2,25%.
Kemudian, NPL net juga naik menjadi 0,81% per April 2024 ketimbang bulan sebelumnya yang hanya 0,77%.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan pihak OJK belum bisa berspekulasi terkait dampak lain yang bisa dirasakan bank itu. Namun, OJK tetap berupaya keras memberantas transaksi judi online di sektor jasa keuangan.
"Tentu kami harus perdalam dari semua aspek. Kami juga kan sudah banyak menindak. Akan tetapi, ke depan kami siapkan langkah yang lebih sistemik lah," tutur Dian.