Bisnis.com, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia Periode 1993-1998 yang juga merupakan kakak ipar Prabowo Subianto, Soedradjad Djiwandono bercerita masa-masa sulit ekonomi Indonesia memasuki krisis moneter 1998.
Soedradjad yang merupakan Guru Besar Bidang Ekonomi Internasional Nanyang Technological University Singapura bercerita sebelum masa jabatannya di Bank Indonesia kala itu habis, dia menutup 16 bank. Namun, langkah tersebut ternyata malah berujung pemecatannya dari kursi kepemimpinan di bank sentral.
Anggota Dewan Pakar Tim Kemenangan Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming itu mengatakan kebijakannya ditentang oleh Presiden RI kala itu Soeharto.
Posisi yang ditempati saat itu, yakni Gubernur Bank Indonesia masih belum independen. Artinya, Gubernur Bank Indonesia masih masuk kabinet. Oleh karena itu, Soedradjad dipecat oleh Soeharto.
"Pada waktu sama bos saya [Soeharto], saya dipecat karena policy saya yang dianggap bikin malu keluarga. Menutup 16 bank, tiga bank milik keluarga," tutur Soedradjad dalam acara Mid Year Banking and Economic Outlook Infobank pada Selasa (2/7/2024) di Jakarta.
Pada November 1997, memang terdapat 16 bank yang ditutup Bank Indonesia, yakni Bank Andromeda, Bank Industri, Bank Jakarta, Astria Raya Bank, Anrico Bank Limited, Bank Citra Hasta Dhana, Bank Dwipa Semesta, Bank Guna Internasional, Bank Harapan Sentosa, Bank Kosagrha Semesta, dan Bank Mataram Dhanarta. Bank Pacific, Bank Pinaesan, Bank Umum Majapahit Jaya,Sejahtera Bank Umum, dan South Asia Bank.
Baca Juga
Adapun, tiga bank milik keluarga Soeharto adalah Bank Andromeda, Bank Industri, serta Bank Jakarta.
Padahal, menurutnya berdasarkan Undang-Undang Bank Sentral, Gubernur Bank Indonesia menjabat dalam masa jabatan lima tahun, kecuali dalam kondisi meninggal dunia dan melakukan tindakan kriminal.
"Saya tidak meninggal dan kriminal tapi disuruh berhenti, karena membikin malu," ujarnya.
Dia mengatakan diberhentikan dari masa jabatannya sebagai Gubernur Bank Indonesia dua bulan sebelum masa jabatan berakhir.
Meski begitu, dia menghargai keputusan Soeharto. "Ini salah besar saya. Mau protes ya tak bisa, beliau [Soeharto] juga merupakan presiden yang jenius," ujar Soedradjad.
Adapun, dia berujar bahwa keputusannya menutup 16 bank termasuk bank-bank milik keluarga Soeharto dilakukan berdasarkan perhitungan akademis. "Saya mengerti teorinya. Toh, keputusan itu [penutupan 16 bank] tidak diubah oleh Soeharto," ujarnya.
Sementara itu, penutupan 16 bank tersebut menjadi bagian dari program International Monetary Fund (IMF). Saat itu, bank-bank di Indonesia ambruk menghadapi kondisi krisis moneter.
Ambruknya bank-bank itu terjadi setelah kebijakan liberalisasi perbankan yang mempermudah perizinan pendirian bank lewat penerbitan Paket Oktober (Pakto) 1988.
Kebijakan liberalisasi perbankan dirilis karena pemerintah pada saat itu ingin mengoptimalkan pembiayaan dari swasta dan masyarakat. Saat itu, bank tumbuh seperti jamur. Semua konglomerat punya bank.
"Dahulu jumlah bank mencapai 240, saya tutup 16. Sekarang sudah bagus sekali. Akan tetapi tidak berarti kita tidak boleh lengah. Sifat kita harus selalu mawas diri, menggunakan profesionalisme kita agar tidak pernah berhenti mengawasi apa yang terjadi di sekitar kita," pungkasnya.