Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) memastikan bahwa likuiditas perbankan tetap memadai pada kuartal II/2024.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan likuiditas perbankan pada kuartal II/2024 tetap memadai tecermin dari rasio alat Likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) yang mencapai level 25,36%.
"Likuiditas perbankan tetap terjaga sejalan tambahan likuiditas makroprudensial dan aliran masuk portofolio asing," kata Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Rabu (17/7/2024).
Selain itu, likuiditas juga terjaga seiring dengan pertumbuhan DPK perbankan pada level 8,45% secara tahunan (year on year/yoy) pada kuartal II/2024.
Perry merinci dari insentif likuiditas makroprudensial (KLM) perbankan mendapatkan guyuran Rp91 triliun untuk periode Juli-Agustus 2024 sehingga tambahan likuiditas dari kebijakan ini senilai Rp255 triliun.
Adapun, Perry menambahkan kondisi likuiditas pada masing-masing perbankan bisa berbeda, tergantung dengan model bisnis masing-masing.
"Ada yang rajin menyalurkan kredit sehingga mendapat tambahan likuiditas dari BI, ada yang enggak rajin menyalurkan kredit sehingga tidak dapat. Namun, secara keseluruhan industri likuiditas tinggi," jelasnya.
Sebagai informasi, insentif KLM BI diberikan kepada perbankan yang menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas, seperti hilirisasi, UMKM, dan pembiayaan hijau.
Sementara itu, sebelumnya OJK melaporkan terjadi kondisi tekanan likuiditas di perbankan. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan di tengah tren suku bunga acuan yang tinggi, DPK perbankan memang masih tumbuh. Namun, pertumbuhan DPK perbankan masih lebih rendah dibandingkan kredit.
Saat kredit tumbuh 12,36% yoy pada kuartal II/2024, DPK tumbuh 8,45% yoy. Artinya, terdapat kesenjangan atau gap antara pertumbuhan kredit dan DPK.
"Gap antara pertumbuhan kredit dan DPK menyebabkan bank melakukan penjualan surat berharga dan mengurangi alat likuid. Hal ini juga menyebabkan likuiditas perbankan mengalami tekanan," kata Dian dalam jawaban tertulis pada Senin (15/6/2024).
Menurutnya, terjadi penurunan rasio likuiditas bank, meskipun masih jauh di atas threshold dan berada pada level yang lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi.
Dari sisi pelaku industri, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) Royke Tumilaar juga mengatakan saat ini, terjadi tren suku bunga acuan pada level yang tinggi dalam waktu yang lama atau higher for longer. The Fed sendiri masih mempertahankan bunga acuannya atau Fed Fund Rate pada level 5,5%.
Kondisi tersebut akan berdampak terhadap pelemahan nilai tukar rupiah. Namun, meski rupiah terus melemah, nyatanya investor asing tetap masuk ke Indonesia.
Sementara, yang jadi tujuan investasi dari investor asing adalah Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Di sisi lain, suku bunga acuan BI masih di level yang tinggi, di mana pada April 2024 telah mengalami kenaikan 25 basis poin (bps). Suku bunga SRBI pun naik sebesar 65 bps.
Hal tersebut memang menarik foreign inflow dan menstabilkan rupiah. Namun, di tengah kondisi tersebut, likuiditas rupiah terserap besar, di mana 70% melalui SRBI. "Kesimpulannya, likuiditas ketat,” ungkap Royke dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI pada beberapa waktu lalu.
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) Nixon L.P. Napitupulu juga menyatakan saat ini likuiditas sedang mahal. Sejumlah target bisnis bank pun diturunkan dalam mengantisipasi tren mahalnya likuiditas.
"Kami turunkan terus ekspansi kredit, karena cost of fund [biaya dana] mahal. Belum tahu kapan turunnya," katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI.
Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan tren suku bunga acuan BI yang tinggi mampu menekan cost of fund perbankan. Bank pun terus berupaya menjaga biaya dananya.
Kondisi tersebut mengharuskan bank memonitor performa kreditnya pula. Adapun, hingga saat ini CIMB Niaga masih membukukan pertumbuhan kredit yang positif 6%. Meski begitu, bank mengerem ekspansi kredit di sejumlah segmen.
"Dari target awal, ada penurunan di kredit korporasi yang masih terkendala karena faktor suku bunga yang relatif masih tinggi," kata Lani kepada Bisnis pada pekan lalu (10/7/2024).