Dari sisi pelaku industri, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) Royke Tumilaar juga mengatakan saat ini, terjadi tren suku bunga acuan pada level yang tinggi dalam waktu yang lama atau higher for longer. The Fed sendiri masih mempertahankan bunga acuannya atau Fed Fund Rate pada level 5,5%.
Kondisi tersebut akan berdampak terhadap pelemahan nilai tukar rupiah. Namun, meski rupiah terus melemah, nyatanya investor asing tetap masuk ke Indonesia.
Sementara, yang jadi tujuan investasi dari investor asing adalah Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Di sisi lain, suku bunga acuan BI masih di level yang tinggi, di mana pada April 2024 telah mengalami kenaikan 25 basis poin (bps). Suku bunga SRBI pun naik sebesar 65 bps.
Hal tersebut memang menarik foreign inflow dan menstabilkan rupiah. Namun, di tengah kondisi tersebut, likuiditas rupiah terserap besar, di mana 70% melalui SRBI. "Kesimpulannya, likuiditas ketat,” ungkap Royke dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI pada beberapa waktu lalu.
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) Nixon L.P. Napitupulu juga menyatakan saat ini likuiditas sedang mahal. Sejumlah target bisnis bank pun diturunkan dalam mengantisipasi tren mahalnya likuiditas.
"Kami turunkan terus ekspansi kredit, karena cost of fund [biaya dana] mahal. Belum tahu kapan turunnya," katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI.
Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan tren suku bunga acuan BI yang tinggi mampu menekan cost of fund perbankan. Bank pun terus berupaya menjaga biaya dananya.
Kondisi tersebut mengharuskan bank memonitor performa kreditnya pula. Adapun, hingga saat ini CIMB Niaga masih membukukan pertumbuhan kredit yang positif 6%. Meski begitu, bank mengerem ekspansi kredit di sejumlah segmen.
"Dari target awal, ada penurunan di kredit korporasi yang masih terkendala karena faktor suku bunga yang relatif masih tinggi," kata Lani kepada Bisnis pada pekan lalu (10/7/2024).