Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat Haji dan Umroh dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dadi Darmadi meminta Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) merampingkan beban pengeluaran agar tak mengalami defisit.
BPKH melaporkan mengalami defisit operasional pada 2023. Sepanjang tahun lalu, BPKH mencatatkan defisit komprehensif konsolidasi sebesar -Rp594,72 miliar. Sedangkan defisit konsolidasi yang diatribusikan kepada entitas induk mencapai -Rp317,66 miliar.
"Selama ini ada kritikan dari luar adanya indikasi kebijakan kurang efisien dalam pengelolaan biaya haji. Mungkin BPKH bisa menerapkan pengelolaan biaya yang lebih ketat dan lebih transparan, serta melakukan kajian bagaimana menghapuskan pengeluaran yang tidak perlu," kata Dadi kepada Bisnis, Rabu (31/07/2024).
Selain perampingan biaya, Dadi juga menyarankan BPKH meningkatkan hasil investasi dengan strategi lebih inovatif dan diversifikasi portofolio yang jauh lebih baik.
Pada 2023, BPKH mencatat gap pendapatan setoran jamaah yang hanya Rp10,79 triliun sementara beban penyelenggaraan haji konsolidasi sebesar Rp18,25 triliun. Untungnya, gap itu bisa ditutup dengan nilai pengembangan dana haji yang mencatat manfaat bersih Rp10,67 triliun.
"Namun, ini harus dilakukan dengan risiko yang terukur dan tidak hanya mengandalkan instrumen investasi konvensional yang selama ini dianggap kurang menguntungkan. Pastinya teman teman BPKH lebih paham soal ini," kata Dadi.
Selanjutnya, Dadi meminta peninjauan kembali kebijakan subsidi. BPKH, kata dia, dapat melakukan kajian bagaimana subsidi bisa diberikan secara tepat sasaran, terutama bagi jamaah yang benar-benar membutuhkan.
"Hal ini akan mengurangi beban finansial pemerintah dan memastikan dana haji dikelola dengan lebih efisien," tegasnya.
Senada, Pengamat Pelayanan Ibadah Haji dan Umrah Ade Marfuddin menyarankan BPKH bisa mengurangi biaya yang tidak perlu. Misalnya, pemberian nilai manfaat dilakukan selektif, tidak kepada semua jamaah haji.
Diketahui, pemerintah menetapkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2024 sebesar Rp93,4 juta. Sementara Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang harus dibayar jamaah Rp56,04 juta atau 60% dari total BPIH. Sisanya, 40% dari BPIH atau Rp37,46 juta dibebankan kepada BPKH melalui nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana haji.
"Misalnya nilai manfaat tidak dibagi semua dong, tapi itu dengan cara gradual, mana yang mampu, kelas yang mampu lunasi dong. Ini jangan pengusaha tambang menggunakan dana nilai manfaat, kan kebalik, ini yang perlu di-declare-kan oleh BPKH dalam pola keuangan supaya tidak defisit," kata Ade.
Soal nilai manfaat ini, Ade juga mendorong BPKH melakukan edukasi kepada masyarakat bahwa ibadah haji itu mahal dan perlu biaya besar. Tidak bisa masyarakat nekat naik haji bermodal nilai manfaat yang diberikan pemerintah.
"Makannya fatwa MUI muncul, haram menggunakan dana nilai manfaat orang lain yang belum jelas status hukumnya. Saya setuju itu. Artinya apa? Bahwa haji itu harus clear and clean," tegasnya.
Cara lainnya, BPKH bisa merampingkan beban biaya seperti akomodasi hotel bagi jamaah haji di Tanah Suci. Dia menyarankan BPKH bisa menyewa perumahan dengan long system contract.
Terakhir, dia menyarankan pemberangkatan haji dilakukan dengan menempatkan jamaah-jamaah yang sudah lansia di kloter-kloter akhir. Dengan cara itu, beban akomodasi tempat tinggal bisa lebih ringan, selain juga untuk menghindari tingginya angka kematian jamaah haji.
Meski begitu, Ade mengapresiasi investasi nilai pengembangan yang dikelola BPKH. Pada 2023, dana pengembangan menghasilkan manfaat bersih Rp10,67 triliun, berbanding Rp9,88 triliun pada tahun sebelumnya.
"Itu saya kira sudah cukup bagus, tinggal itu bagaimana mengefisiensikan tidak boleh digunakan semuanya pada sektor-sektor nilai manfaatan tadi, harusnya dikurangi nilai subsidinya," kata Ade.