Bisnis.com, JAKARTA -- Data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pembiayaan infrastruktur pada Mei 2024 mengalami kontraksi cukup dalam secara tahunan.
Pembiayaan infrastruktur pada Mei 2024 sebesar Rp11,71 triliun, turun 88,41% year-on-year (yoy) dibandingkan dengan Mei 2023 sebesar Rp101,19 triliun.
Kontribusi jenis kegiatan usaha terbesar yang menyumbang pembiayaan infrastruktur, pinjaman langsung (direct landing) turun 79,46% yoy dari Rp51,60 triliun pada Mei 2023 menjadi Rp10,59 triliun pada Mei 2024.
Penurunan tersebut juga selaras dengan penurunan laba perusahaan pembiayaan infrastruktur yang tergerus 95% yoy menjadi Rp48 miliar dibandingkan dengan Rp1,01 triliun pada Mei 2023.
Pada periode ini, beban perusahaan sebenarnya juga turun dari Mei 2023 sebesar Rp2,24 triliun menjadi Rp481 miliar atau turun 79% yoy. Namun di sisi lain, pendapatan juga turun dari Rp3,46 triliun di Mei 2023 menjadi Rp546 miliar di Mei 2024, atau turun 84% yoy.
Direktur Eksekutif Intitute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti Soeryaningrum Agustin mengatakan saat ini pembiayaan infrastruktur masih dominan didanai dari kredit perbankan yang mana hal itu merupakan sumber pendanaan jangka pendek.
Baca Juga
"Seharusnya pembiayaan infrastruktur lebih banyak di-drive sumber pendanaan jangka panjang karena payback periode proyek infrastruktur jangka panjang," kata Esther kepada Bisnis, Selasa (27/8/2024).
Dibandingkan dengan pembiayaan dari perbankan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penyaluran kredit perbankan untuk sektor konstruksi pada Mei 2024 mencapai Rp240,87 triliun, naik 0,20% yoy dibandingkan dengan Mei 2023 sebesar Rp240,37 triliun.
Angka tersebut secara bulanan juga meningkat. Pada Juni 2024 pembiayaan kredit perbankan sektor konstruksi naik 0,63% month-to-month (mtm) menjadi Rp242,40 triliun.
Esther mengatakan pemerintah bisa mengandalkan keterlibatan perusahaan pembiayaan swasta untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur. "Skema bisa public private partnership," tandasnya.