Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Dorong Penurunan BI Rate di Tengah Anjloknya Kelas Menengah

Ekonom Indef mendorong penurunan suku bunga acuan atau BI Rate tanpa menunggu Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed memangkas Fed Fund Rate.
Karyawan berada di dekat logo Bank Indonesia di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P
Karyawan berada di dekat logo Bank Indonesia di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mendorong penurunan suku bunga acuan atau BI Rate tanpa menunggu Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed memangkas Fed Fund Rate (FFR) lebih dahulu. 

Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto menyampaikan langkah tersebut perlu dilancarkan mengingat tertahannya konsumsi kelas menengah, seiring dengan anjloknya jumlah penduduk kategori tersebut. 

“Sinyal-sinyal penurunan suku bunga dari Amerika Serikat sudah semakin kelihatan, kita tidak perlu menunggu mereka menurunkan bunga dan lain-lain,” ujarnya dalam Diskusi Publik Indef: Kelas Menengah Turun Kelas, Senin (9/9/2024). 

Menurutnya, sudah saatnya Bank Indonesia (BI) memangkas BI Rate untuk kembali menggerakkan sektor riil. 

Salah satunya membanjiri likuiditas kredit bagi UMKM, khususnya bagi dunia usaha. Pasalnya, banyak masyarakat yang memiliki penghasilan stagnan, ingin membuka bisnis ataupun usaha namun terhalang tingginya suku bunga saat ini. 

Berdasarkan hasil survei Indef di platform X, dulu Twitter, dari 167.900 pengguna akun, 41,5% di antaranya mencuitkan keinginan untuk menambah penghasilan dari bisnis karena upah yang tak kunjung naik. 

Eko menegaskan, alarm perlambatan konsumsi telah nampak pada realisasi pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal terakhir yang turun dari kuartal I/2024 sebesar 5,1% menjadi 5% pada kuartal II/2024. 

Di mana kelompok pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga stagnan tumbuh 4,9% (year-on-year/yoy).

Di sisi lain, PMI Manufaktur semakin terkontraksi pada Agustus 2024. Bahkan, perlambatan manufaktur ini telah terjadi sejak April 2024 dan masuk dalam zona kontraksi muali Juni 2024. 

Sejalan dengan hal tersebut, daya beli yang melemah juga ditunjukkan oleh deflasi selama empat bulan beruntun atau sejak Mei 2024 hingga Agustus dengan inflasi tahun berjalan atua year-to-date (ytd) di level 0,87%. 

Sementara mengacu hasil Survei Konsumen Bank Indonesia, ekspektasi akan penghasilan, ketersediaan lapangan kerja, dan kegiatan usaha kompak turun sejak Mei 2024 hingga Juli 2024. 

Data teranyar per Agustus, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sebesar 124,4, naik dari posisi bulan sebelumnya yang sebesar 123,4.

Untuk itu, dirinya mendorong agar bank sentral segera memangkas suku bunga acuan. Selain itu, Eko meminta pemerintah untuk menunda kenaikan harga barang dan jasa yang dapat dikendalikan pemerintah alias administered price. 

Antara lain, harga BBM, iuran BPJS kesehatan, ketenagakerjaan, hingga isu terbaru mengenai dana pensiun. 

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo tetap teguh untuk memangkas BI Rate pada Kuartal IV/2024 meski The Fed berencana memangkas pada pertemuan FOMC bulan ini. 

Perry masih enggan menurunkan BI Rate meski terbuka ruang bagi Indonesia. Menurutnya, BI masih melihat dan menunggu kondisi global. 

"Kondisi global itu apa? Satu, kejelasan FFR. Kedua, tentu saja adalah bagaimana implikasi kepada suku bunga US Treasury baik yang 2 tahun maupun 10 tahun. Ketiga adalah kecenderungan mata uang dolar," jelasnya dalam penyampaian hasil RDG bulan lalu.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper